Rabu, 07 Desember 2011

Ihsan: Jujur, Malu dan Takut kepada Allah


Pengertian Ihsan
Secara etimologi (lughah [bahasa]) ihsan berasal dari kata hasuna-yahsunu-husnan (fi’il lazim, aktif intransitif) yang berarti baik atau bagus. Kemudian diubah ke dalam bentuk fi’il muta’adi atau aktif transitif menjadi ahsana-yuhsinu-ihsanan yang artinya berubah menjadi memperbaiki, membaguskan. Makna tersiratnya, memperbaiki dan membaguskan diri dalam dimensi aqidah, ibadah dan akhlaq.


Berdasrkan hadits Rasulullah ihsan adalah:
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat Allah. Jika engkau tidak mampu melihat Allah maka Allah lah yang melihatmu” (H.R. Bukhari-Muslim)

Jadi, ihsan merupaka sikap merasa diri dimonitor oleh Allah. Oleh karenanya, ketika sikap ihsan ini dimiliki, para pejabat tidak akan korupsi karena malu dan takut, para pedagang tidak akan curang karena malu dan takut, para pelajar dan mahasiswa tidak akan licik karena mereka tahu bahwa Allah melihat kelicikannya, istri tidak akan berbuat yang tidak-tidak di belakang suaminya, suami pun tidak akan selingkuh dengan tidak hak (ta’addud [poligamai] secara bajik dan bijak).

Kisah Penggembala Kambing
Dalam hadits riwayat ath-Thabraniy melalui rawi-rawi yang tsiqah (kuat), Abdullah bin Dinar r.a. berkata, “Saya pergi bersama Ibnu Umar r.a. ke Makkah. Di tengah perjalanan, kami berhenti sebentar untuk istirahat. Tiba-tiba ada seseorang anak gembala turun dari bukit menuju ke arah kami. Ibnu Umar r.a. bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu penggembala?’ ‘Ya’, jawabnya. Lanjut Ibnu Umar r.a., ‘Juallah kepada saya seekor kambing saja’ (Ibnu Umar r.a. ingin mengetahui kejujurannya). Penggembala menjawab, ‘Saya bukan pemilik kambing-kambing ini, saya hanyalah hamba sahaya’. ‘Katakan saja pada tuanmu, bahwa ia dimakan srigala’ kata Ibnu Umar r.a. membujuk. ‘Lalu dimanakah Allah Azza wa-Jalla?’ jawab penggembala. Ibnu Umar r.a. bangga dengan jawaban penggembala dan bergumam, ‘Ya, benar dimanakah Allah SWT?’ Kemudian beliau menangis dan dibelinya hamba sahaya tadi lalu dimerdekakan.”.

Subhanallah... Luar biasa. Itu kata yang pantas sebagai apresiasi bagi anak penggembala kambing tersebut. Adakah anak, remaja, dewasa dan orang tua saat ini yang semisal anak itu? Malu dan takut kepada Allah jika berbuat tidak jujur. Malu dan takut kepada Allah jika ia curang. Malu dan takut kepada Allah jika ia melakukan sebuah kelicikan. Malu dan takut kepada Allah jika berbuat sesuatu yang dilarang Allah. Saya kira, sangat jarang kita temukan sampel orang seperti itu. Dan, semoga kita termasuk ke dalam orang yang jarang itu. Dalam arti kita termasuk orang yang bisa bersikap seperti anak tadi.

Tentang Jujur
Jujur dalam bahasa Arab disebut dengan istilah ash-shidqu yang arti dasarnya adalah benar. Relevansinya, orang yang jujur itu adalah orang yang benar. Maka, karena ia adalah orang yang benar, ia akan senantiasa berada dalam kebahagiaan sejati.

Jujur itu lebih menentramkan hati. Jujur itu membuat jiwa merasa nyaman. Pekerjaan yang dilakukan dengan tidak jujur membuat diri tidak pernah tenang karena terjadi perang batin yang cukup alot. Ucapan yang tidak jujur membuat hati selalu merasa bersalah. Ia membohongi orang lain padahal sejatinya ia membohongi dirinya sendiri.

Dalam hadits yang sahih, Rasulullah saw bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلىَ البِرِّ وَإِنَّ البرَّ يَهْدِيْ إِلىَ الجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتىَّ يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِيْقاً وَإِيَّاكُمْ وَالكَذِبَ فَإِنَّ الكَذِبَ يَهِدِى إِلىَ الفُجُوْرِ وَإِنَّ الفُجُوْرَ يَهْدِي إِلىَ النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيتَحَرَّى الكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كذاباً 
“Berlaku jujurlah kalian. Sesungguhnya jujur itu menuntun kepada kebaikan dan kebaikan itu menuntun ke surga. Seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur, sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian dusta karena sesungguhnya dusta itu menuntun kepada keburukan dan keburukan itu menuntun ke neraka. Seseorang senantiasa berdusta dan berusaha untuk berdusta sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta” (HR Muslim dari Ibnu Mas’ud).

Tentang Malu
Beredar di masyarakat hadits yang masyhur yang menyatakan bahwa malu itu sebagian dari iman. Benar adanya. Bahwa mau itu akan berimplikasi naiknya keimanan kepada Allah. Tetapi, malu yang bagaimana yang merupakan bagian dari iman?

Malu atau al-haya`u dalam bahasa Arab, ada dua macam, yaitu al-haya`ul mamduh (malu yang terpuji) misalnya malu jika makan dengan tangan kiri apalagi sampai berjalan kaki, malu jika berbuat sesuatu yang tidak semestinya dilakukan apalagi oleh seseorang yang berilmu; dan al-haya`ul madzmum (malu yang tercela) malu ke pengajian karena tidak memiliki pakaian yang bagus.

Nah, dari kedua jenis malu tersebut, malu yang merupakan bagian dari iman adalah malu yang pertama, yaitu al-hay`ul mamduh. Jika Anda merasa malu berbuat buruk, maka malunya Anda adalah bagian dari iman. jika Anda malu Jika Anda malu tidak bersedekah (pelit) karena Anda mampu, maka malunya Anda adalah bagian dari iman.

Tentang Takut
Seperti halnya malu, takut atau al-khaufu (dalam bahasa Arab) ada dua macam, yaitu takut thabi’ah insaniyah (sifat manusiawi) dan takut bil’ilmi (berdasarkan ilmu). Takut jenis pertama seperti takut kecelakaan, takut binatang buas, takut bangkrut, takut kehilangan harta benda, takut sakit, dll.. Takut jenis kedua seperti takut masuk neraka, takut tidak bisa beribadah secara benar, takut dimurkai Allah, takut anak-anaknya tidak shalih, dll..

Takut yang hadir karena adanya ihsan adalah takut jenis kedua, yaitu takut berdasarkan ilmu. ketika ada pejabat tidak berani korupsi karena takut dimurkai Allah, misalnya, maka takutnya tersebut merupakan takut yang akan berefek positif bagi ketenangan batin dan keselamatan dirinya di dunia dan akhirat.

Ketiga hal sebagaimana dipaparkan di muka, yaitu jujur, malu dan takut semoga menjadi peningkat keimanan dan kualitas amal kita di hadapan Allah. Sejatinya ketika tiga hal itu bisa kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari secara benar, pada tempatnya, secara otomatis kebahagiaan dan ketenangan hidup menjadi bayaran yang berharga. Kebahagiaan dan ketenangan di dunia dan akhirat. Insya Allah.

0 komentar:

Posting Komentar

Mari meraih kebaikan dengan berbagi. Tinggalkan komentarmu kawan...