Minggu, 05 Juni 2011

Tamtsil Hidayah dan Ilmu

Di antara metode Al-Quran dan Al-Hadits dalam menguraikan ilmu adalah metode Tamtsil alias perumpamaan. Tujuan dari hal ini adalah agar si pembaca, selain memahami, juga diajak untuk melibatkan pemikiran dalam memvisualkan sesuatu yang dibahas. Selain sebagai keindahan tata bahasa, tamtsil juga digunakan sebagai cara untuk menguatkan ingatan pembaca.

 
Sebagai sampel metode pengajaran tamtsil, kita pelajari hadits Rasulullan saw. berikut


 مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ، كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ، أَصَابَ أَرْضًا، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى، إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً، وَلاَ تَنْبتُ كَلأَ، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقِهَ فِي دِينِ اللهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللهُ بِهِ، فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ
“Perumpamaan perumpamaan diutusnya Aku oleh Allah dengan membawa hidayah dan ilmu, adalah seperti hujan yang lebat  menimpa tanah. Diantara tanah itu ada bagian yang baik (subur) yang dapat menyerap air dan menumbuhkan pepohonan dan rerumputan yang banyak. Diantara tanah juga ada bagian yang keras dapat menampung air (tapi tidak dapat menumbuhkan). Maka dengan tanah ituAllah memberi manfaat kepada manusia sehingga mereka dapat minum dari padanya, dan menyiram tanaman, dan dapat memberi minum ternak. Diantara air itu ada yang menimpa jenis tanah yang lain, yaitu tanah yang tandus dan gersang. Tidak dapat menampung air dan tidak dapat menumbuhkan tumbuhan. Demikianlah perumpamaan orang yang faham dalam agama Allah dan apa yang Allah utus kepadaku memberi manfaat kepadanya, maka dia mengetahui dan mengajarkan ,dan perumpamaan orang yang tidak mau mengangkat kepala dengan hal itu (sombong) serta orang yang tidak mau menerima hidayah Allah, yang aku diutus dengan membawa hidayah itu.”. (H.R. Muttafaqun ‘Alaih).

Marilah kita pelajari segi-segi keserupaan antara air dan agama (Islam dan Al-Quran) seperti yang diisyaratkan pada ayat di atas:

Pertama, air merupakan sumber kehidupan makhluk di bumi. Tidak ada makhluk biologis yang dapat bertahan hidup dengan baik tanpa sumber air yang baik pula. Bahkan bagi makhluk sejenis ikan keluar dari air berarti menyongsong kematianya. Demikian pula wahyu Allah yang merupakan sumber utama agama, merupakan sumber kehidupan manusia. Jika air menjadi konsumsi bagi pertumbuhan dan kesehatan fisik-jasmani, maka agama  menjadi sumber konsumsi kehidupan manusia. Allah berfirman:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rosul jika menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu. Dan ketahuilah bahwasanya Allah membatasi antara manusia dengan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan kembali.” (Q.S Al-Anfal [8]: 24).

Menurut At-Thabari Maksud dari “penuhilah seruan Allah dan seruan Rosul jika menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu” adalah penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya dengan ketaatan,  jika Rasul tersebut menyeru kamu kepada Allah Yang menghidupkan kamu, yaitu kepada kebenaran. Sedangkan “dan ketahuilah bahwasanya Allah membatasi antara manusia dengan hatinya” ialah pemberitahuan bahwa Allah lebih menguasai hati hamba-Nya daripada hambanya sendiri.

Kedua, air diturunkan Allah dari langit dengan sifatnya yang mengalir dari dataran tinggi menuju tempat yang lebih rendah. Jika ia dibentengi dengan tembok atau dinding tebal maka ia tak akan menembusnya. Ia akan tergenang hingga menyamai ketinggian tembok atau dinding tersebut. Demikian pula dengan sifat dan karakter dari ilmu dan hidayah. Ia turun dari yang Mahatinggi, Allah swt.. Diturunkan kepada umat manusia melalui para nabi utusan-Nya agar didakwahkan kepada segenap umat manusia. Tetapi, ada banyak benteng yang menghalangi masuknya ilmu, di antaranya Takabur dan Haya’.

Takabur atau sombong hakikatnya ialah menganggap hina orang lain dan merasa dirinya yang paling mulia sehingga menolak segala ilmu, nasihat, kritik, atau saran dari orang lain. Rasulullah saw. bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ مِنْ كِبْرٍ
"Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada sebutir kesombongan.” (H.R. Ahmad, Tirmidzi, Nasaiy, dan Thabraniy).

Sedangkan Haya’ adalah arti sifat gengsi atau malu, hakikatnya adalah penghalang orang untuk mendapat ilmu dan tuntutan.

Mujahid berkata:
لَا يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلَا مُسْتَكْبِرٌ
“Tidak akan mampu menuntut ilmu orang yang malu dan sombong.”

Ketiga, bahwa air hujan itu ketika turun dari langit dalam keadaan suci dan bersih. Tetapi ketika sudah jatuh menimpa tanah, ia tercemari berbagai jenis kotoran yang telah ada di tanah itu. Sehingga air yang suci berubah menjadi hitam pekat terpolusi oleh berbagai limbah dan kotoran.

Begitu pun agama Allah, ilmu dan hidayah-Nya. Ia turun dari langit dibawa para Rasul dalam keadaan suci bersih, hanif (lurus), ikhlas dan fitrah sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri. Tetapi, manakala Rasulnya sudah tiada, agama dipeluk oleh para pengikutnya berdasarkan warisan  dan tradisi turun-menurun yang tak jarang telah tercemari oleh berbagai faham, keyakinan, tradisi dan ambisi, hawa nafsu yang buruk. Sehingga kemurnian agama Islam menjadi keruh oleh berbagai macam limbah, kesesatan penyimpangan. Tauhid bercampur dengan syirik, ibadah bercampur dengan adat-istiadat, sunnah bercampur dengan bid’ah (sebutan untuk suatu amalan yang tidak diperintahkan, tidak diteladankan dan disetuji oleh Rasulullah saw.).

Maraji':
Jeje Zaenudin Abu Himam, 2008. Menolak Perangkap Aliran Sesat. Hadico Persada Press: Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar

Mari meraih kebaikan dengan berbagi. Tinggalkan komentarmu kawan...