Senin, 18 April 2011

Dilarang Menggugat Allah...!!!

Jika Allah Memutuskan
Di antara enam pilar keimanan seorang muslim adalah meyakini akan ketentuan dan ketetapan Allah yang lazim disebut qadla-qadar. Artinya, keimanan seseorang diindikasikan sempurna ketika ia yakin akan keputusan Allah yang berimplikasi pada sikap menerima, apapun wujudnya baik yang sesuai dengan kehendak diri atau pun tidak. 

Namun, pada kenyataannya, kebanyakan manusia hanya mampu menerima takdir yang sesuai dengan keinginan. 


Adapun sikap kurang etis sebagai seorang muslim terlihat ketika mendapat sesuatu yang tidak diharapkan. Sikap menyesali diri, mencari kambing hitam, distress bahkan eutress, marah-marah, high temperament, dll., selalu menyertai realitas yang tidak bersahabat tersebut. Sedikit sekali orang menerima dengan senang hati kenyataan yang tidak sesuai maksud hati.

Qadla itu sendiri merupakan ketentuan Allah yang ditentukan pada jaman ajali. Adapun qadar adalah terjadinya sesuatu sesuai dengan qadla. Ibnu Hajar menegaskan, “Para ulama berpendapat bahwa qadha adalah hukum kulli (universal) ijmali (secara global) pada jaman ajali. Sedangkan qadar adalah bagian-bagian kecil dan perincian-perincian hukum tersebut.” (Fathul-Baari 11: 477).
www.nasehatislam.com

Ketetapan Allah dibagi menjadi dua, yaitu mubram dan mu’allaq atau ikhtiariy. Mubram adalah ketetapan Allah secara mutlak dan tidak terkait dengan hukum  kausalitas. Misalnya, waktu kematian, masa tua, kelahiran, dll.. Sedangkan mu’allaq berarti adanya keterkaitan antara ikhtiar manusia dengan realitas yang terjadi. Mencita-citakan kekayaan tidak akan terwujud dengan hanya berpangku tangan. Mengharapkan mendapat prestasi baik tidak akan terbeli dengan sikap malas dan memelas. Mendambakan suami shalih/istri shalihah tidak akan tercapai hanya dengan mencari akses kesana kemari, sedangkan diri tidak dievaluasi dan diperbaiki. Itulah contoh ketetapan yang mesti diupayakan terlebih dahulu.

Tetapi, dilarang menggugat Allah ketika usaha dirasa sudah maksimal sedangkan hasilnya minimal. Karena dalam kejadian tersebut ada hikmah yang bisa diambil. Mungkin saja apa yang kita inginkan bukanlah yang terbaik untuk diri kita sehingga Allah menyiapkan sesuatu yang lain yang membawa maslahat untuk dunia-akhirat kita. Tetapi, hanya orang yang berkeyakinan mantap lah yang mampu menerima hal ini dan semoga kita termasuk di dalamnya.

BBB (Berpikir Baik dan Benar)
Berpikir adalah kewajiban seorang muslim. Ketika seseorang mengaku muslim tetapi tidak mau berpikir, berarti ia kehilangan salah satu karakter kemuslimannya. Banyak ayat al-Quran yang mengajukan pertanyaan tetapi sebenarnya bukan pertanyaan melainkan instruksi. “Afala ta’qilun”, “Afala tatafakkarun”, demikian Allah mempertanyakan.

Realitas kongkrit selalu bersinggungan dengan realitas abstrak. Maka, konsekuensinya, kejadian atau peristiwa yang dialami selalu bersinergi dengan pikiran yang merupakan salah satu bentuk realitas abstrak. Pantaslah orang selalu menggemborkan bahwa pikiran akan menentukan kenyataan. Jika pikiran baik, maka kenyataan pun baik. Jika pikiran buruk, yang terjadi pun akan buruk.

Sebenarnya ide tersebut adalah hak milik Allah yang dirajalelakan para motivator ke seluruh jagat. Mari kita pelajari:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ إِنْ خَيْرًا فَخَيْرٌ وَإِنْ شَرًّا فَشَرٌّ
“Sesungguhnya Allah ta’ala berfirman, ‘Aku ini sesuai dengan sangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Jika sangkaannya baik, maka (realitas pun) akan baik, jika sangkaannya buruk, maka (realitas pun) akan buruk’.” (H.R. Thabraniy, 8115).

Muhasabah Cinta
Lalu, bagaimana kaitan antara ketetapan Allah dengan berpikir baik-baik? Di sinilah manifestasi atau perwujudan keimanan kepada qadla dan qadar diuji. Apapun yang terjadi, tuntutan kepada seorang hamba –jika masih ingin disebut hamba– adalah tetap berpikir jernih, berpikir benar dan berpikir baik, sehingga kebaikan di balik kejadian akan turun dengan baik.

Mari yakini bahwa Allah memiliki skenario dalam setiap keputusan-Nya. Dalam arti, Allah Maha Mengetahui dan Mengasihi sesuatu yang baik untuk hamba-Nya sehingga yang Allah berikan hanyalah sesuatu yang baik-baik saja. Oleh karena itu, baik menurut kita hendaknya disesuaikan dengan baik menurut Allah. Tidak sebaliknya. Ibarat kita membeli sepatu yang terlalu longgar atau terlalu kecil, maka kita jangan memperbesar atau memperkecil kaki, tetapi sesuaikan ukuran sepatu dengan ukuran kaki.

Pada kenyataannya, harapan dan asa yang telah diukir tidak selalu tepat terwujud. Terkadang peristiwa yang dialami menyayat dan mengiris hati bahkan sampai berhari-hari. Sangat wajar hal itu terjadi, tetapi akan tidak wajar jika terdapat ghuluw (keterlaluan) di dalamnya. Maka, sikap terbaik adalah merelevansikan baik menurut kita kepada baik menurut Allah. Dari sini, insya Allah akan timbul mindset yang benar yang pada ujungnya mengudang kebaikan lain dari Allah.

Tidak berhenti sampai di situ. Kita pun mesti mengukur diri, sejauh mana kita berupaya untuk baik? Karena sunnatullah menyatakan bahwa yang baik-baik itu akan memunculkan yang baik. Mungkin saja ketidakbaikan peristiwa –menurut ukuran manusia– terjadi karena adanya ketidakbaikan diri kita sehingga diri kita menjadi magnet yang menarik ketidakbaikan. Oleh karena itu, mari mengevaluasi kinerja diri. Lalu perbaiki jika ada yang perlu diperbaiki dan tingkatkan kualitas diri jika ada yang perlu ditingkatkan sehingga diri kita menjadi magnet yang menarik kebaikan-kebaikan.

Akhirnya, hanya kepada Allah lah kita memohon kebaikan dan kekuatan dalam hidup. Tanpa “tangan” Allah kita tidak akan sanggup hidup. Betapa bahagianya kita, ketika Allah selalu bersama dalam segala waktu, di setiap langkah, di seluruh hela nafas dan di sisa usia kita.  

Wallahu a’lam bish-shawwab.

0 komentar:

Posting Komentar

Mari meraih kebaikan dengan berbagi. Tinggalkan komentarmu kawan...