Manusia adalah makhluk yang berpotensi dua
macam, yakni malakiyah (kemalaikatan: taat, patuh) dan syaithāniyah
(kesetanan: salah, dosa, maksiat). Kedua potensi tersebut terkadang datang
bergantian. Dalam arti lain, manusia memiliki sikap yang fluktuatif
(naik-turun). Di satu waktu, ia patuh dan berbuat kebaikan. Namun, di lain
saat, ia bermaksiat. Ini fitrah yang tidak bisa dielakkan.
Salah satu keadaan syaithaniyah adalah
menceritakan ke-syaithaniyah-an orang lain. Dalam istilah yang masyhur
kita mengenalnya dengan “ghibah” atau dalam bahasa Indonesia disebut gunjingan,
menceritakan dosa, maksiat atau keburukan orang lain.
Dalam kesempatan ini, insya Allah, kita akan
mengupas tentang ghibah dan hal-hal yang terkait dengannya.
Definisi Ghibah
Ghibah berasal dari kata ghāba
yaghību ghaiban yang berarti tidak hadir, tidak terlihat, tidak teraba,
tidak tercium. Secara bahasa ghibah berarti menceritakan seseorang yang
tidak hadir di hadapan. Objek cerita yang dimaksud adalah tentang keburukan
orang yang diceritakan.
Definisi Ghibah Perspektif
Hadits
Sedangkan secara istilah, definisi ghibah bisa
dilihat dari sabda Rasulullah saw. berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: أَتَدْرُوْنَ
مَالْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ
بِمَا يَكْرَهُ. قِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ
إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ
فَقَدْ بَهَتَّهُ
Hadits dari Abu Hurairah,
bahwasannya Rasulullah saw. bertanya, “Tahukah kalian, apakah ghibah itu?”.
Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Rasulullah
bersabda, “(Ghibah adalah) kamu mebicarakan
saudaramu tentang sesuatu yang ia benci. Ditanyakan, “Bagaiamana pendapat Anda
jika yang saya bicarakan ada pada diri saudaraku?” Rasulullah menjawab, “Jika
yang kamu bicarakan itu ada pada dirinya, maka kamu meng-ghibah-nya dan jika
tidak ada pada dirinya, maka kamu telah menuduhnya”. (H.R.
Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ahmad).
Jadi, menurut hadits Rasulullah saw. tersebut, ghibah
adalah menceritakan keburukan seseorang, dalam hal ini seorang muslim. Jika
keburukan yang diceritakan itu ternyata benar dan sesuai fakta, maka itulah
ghibah. Jika keburukan yang diceritakan itu tidak terbukti maka cerita tersebut
merupakan fitnah, menuduh tanpa bukti.
Definisi Ghibah Perspektif
al-Ghazali
Imam ash-Shan’ani, dalam kitabnya Subulus
Salam, mengutip penjelasan Imam al-Ghazali tentang definisi ghibah sebagai
berikut:
ذِكْرُ الْمَرْءِ بِمَا يَكْرَهُ سَوَاءً كَانَ فِى بَدَنِ الشَّخْصِ اَوْ
دِيْنِهِ اَوْ نَفْسِهِ اَوْ خُلُقِهِ اَوْ مَالِهِ اَوْ وَالِدِهِ اَوْ وَلَدِهِ
اَوْ زَوْجِهِ اَوْ خَادِمِهِ اَوْ حَرَكَتِهِ اَوْ طَلاَقَتِهِ اَوْ عَبُوْسَتِهِ
اَوْ غَيْرِ ذلِكَ مِمَّا يَتَعَلَّقُ بِهِ ذِكْرُ سُوْءِ سَوَاءً ذِكْرٌ
بِاللَّفْظِ اَوْ بِالرَّمْزِ اَوْ بِالإِشَارَةِ
“Menceritakan tentang
seseorang dengan sesuatu yang dibencinya baik badannya, agamanya, dirinya
(fisik), perilakunya, hartanya, orang tuanya, anaknya, istrinya, pembantunya,
raut mukanya yang berseri atau masam, atau hal lain yang berkaitan dengan
penyebutan seseorang baik dengan lafad (verbal), tanda, ataupun isyarat”.
Definisi yang dikemukakan oleh al-Ghazali
tersebut menyiratkan pelajaran berharga agar kita menjaga lisan dari menggunjingkan
seseorang. Pasalnya, menggunjing, baik itu fakta ataupun tanpa bukti, merupakan
perbuatan dosa yang berimplikasi pada ‘adawah (permusuhan), sedangkan ‘adawah
lebih dekat kepada kebinasaan. Dan, yang paling dikhawatirkan adalah kebinasaan
mental taat.
Ghibah dalam al-Quran: “Kanibalisme”
Allah swt. berfirman:
وَلاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ
لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ
“Janganlah saling menggunjing! Maukah salah seorang diantara
kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat
lagi Maha Penyayang”. (Q.S. al-Hujurat [49]: 12).
Ayat tersebut
menggolongkan ghibah kedalam perbuatan keji seperti halnya zina. Dalam ayat tersebut, ghibah
diidentikan dengan canibalism, memakan daging manusia yang sudah
meninggal. Berarti, pelaku ghibah tidak jauh berbeda dengan canibalist (pelaku kanibal). Kiranya demikian makna
tersirat dari ilustrasi dalam ayat tersebut.
Orang yang di-ghibah-i tidak tahu menahu bahwa
dirinya sedang digunjing dan dijelek-jelekan karena memang ia tidak ada di
hadapan si penggunjing. Seperti halnya orang mati yang tidak bisa berbuat
apa-apa ketika jasadnya dimutilasi kemudian potongan tubuhnya dimakan oleh si
penjahat mutalisi tersebut.
Sekali lagi, ghibah adalah “kanibalisme” yang
sudah menjadi fenomena. Oleh karena itu, kita perlu waspada dan memprotek lisan
agar terhindar dari sang “predator” ini (baca: ghibah). Kalau kita masih
memunyai perasaan, tanyakan pada diri, “Jika aku digunjing dan dijelek-jelekkan
orang, bagaimana ya perasaanku?”.
Setiap orang tidak mau kalau dirinya digunjing,
termasuk saya dan Anda. Nah, biar imbang dan imbas, ya sudah tidaklah usah kita
menggunjing orang lain. Baiknya, kita pelajari perjalanan hidup kita. sudah
seberapa besarkah perhatian kita terhadap perintah dan larangan Allah? Sudah
seberapa hebatkah amal dan ibadah kita? Sudah seberapa kuatkah kita berusaha
menghindari dosa dan maksiat?
Mari menyibukkan diri untuk mengurus dan
memperbaiki diri kita sehingga kita dijanjikan kebaikan oleh Allah swt.. Selain
itu, tanamakan juga keyakinan bahwa tidak ada orang sempurna, semua orang
memiliki kekurangan. Jika kita menggunjing dan menjelek-jelekkan orang lain di
belakangnya, berarti kita sudah merasa bahwa kita lebih mulai daripada dirinya
padahal kita pun memiliki kekurangan dan keburukan. Itu namanya sombong.
Sedangkan sombong adalah wasilah lā yudkhilul jannata, tidak akan masuk
surga. Jadi, yang ghibah, ya yang sombong.
Akibat Ghibah
Untuk mengetahui akibat buruk dari menceritakan
keburukan orang lain, baik itu fakta maupun tanpa bukti, mari kita perhatikan
hadits Rasulullah saw. berikut ini:
لَمَّا عُرِجَ بِى مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ
يَخْمِسُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَصُدُوْرَهُمْ. فَقُلْتُ مَنْ هؤُلآءِ؟ قَالَ هؤُلآءِ
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسِ وَيَقَعُوْا فِى أَعْرَاضِهِمْ
Ketika aku dimi’rajkan,
aku melewati suatu kaum yang berkuku dari tembaga. Mereka mencakar-cakar muka
dan dada mereka. Lalu aku bertanya, “Siapakah mereka itu, Jibril?”. Jibril
menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang suka memakan daging manusia dan
mengganggu kehormatan mereka (ghibah)”. (H.R. Abu Dawud).
Jelas sudah bahwa ghibah
sangat berbahaya bagi pelakunya. Tergambar ngerinya siksaan bagi orang-orang
yang ghibah. Mencakar-cakar muka dan dada dengan kuku yang terbuat dari
tembaga. Na’ūdzu billāhi min dzālik.
Ghibah yang Boleh
Imam Ash-Shan’ani dalam
kitabnya, Subulus Salam, menjelaskan ada enam perkara yang boleh ghibah.
Diantaranya:
1. At-Tazhallum
Bolehnya ghibah yang pertama adalah ketika
terzalimi. Orang yang terzalimi boleh menyebutkan kezaliman seseorang terhadap
dirinya. Tentunya hanya bersifat pengaduan kepada orang yang memiliki qudrah
(kapasitas) untuk melenyapkan kezaliman.
Bolehnya ghibah dalam hal ini didasarkan pada
firman Allah swt.:
لاَ يُحِبُّ اللهُ الْجَهْرَ بِالسُّوْءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ
ظُلِمَ وَكَانَ اللهُ سَمِيْعًا عَلِيْمًا
“Allah tidak menyukai ucapan
buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya.
Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. an-Nisa [4]: 148).
Dalil
lain adalah peristiwa Hindun yang mengadu kepada Rasulullah tentang Abu Sufyan.
Hindun menyebutkan Abu Sufyan sebagai Syahih (pelit).
2. Al-Isti’ānah
Ghibah juga dibolehkan
dengan tujuan isti’ānah (meminta pertolongan) untuk menghilangkan
kemunkaran. Seperti mengatakan, fulānun fa’ala kadzā, si anu telah
berbuat begini (perbuatan buruk).
3. Al-Istifta`
Menceritakan keburukan
seseorang juga dibolehkan jika hendak istifta` (meminta fatwa). Para
ulama ahli hadits, banyak memberikan fatwa dan mengidentifikasi seorang rawi
hadits. Tujuannya tiada lain agar kita mengetahui derajat hadits yang
diriwayatkan melalui jalan para perawi. Jika para ulama tidak menjelaskan
keadaan sebenarnya (ghibah) masing-masing rawi, mungkin tidak akan ada yang
namanya hadits dla’if. Semua hadits mungkin saja dinilai shahih.
Dengan ghibahnya para ulama tentang rawi hadits, maka diketahuilah derajat
hadits-hadits yang sampai kepada kita melalui para ulama.
4. At-Tahdzīr lil
Muslimīn
Kebolehan ghibah
selanjutnya adalah at-tahdzīr lil muslimīn (memperingatkan orang-orang
Islam). Maksudnya, agar orang muslim tidak tertipu dengan keburukan dan
kejahatan seseorang. Misalnya yang dilakukan para ulama ahli hadits dalam men-jarh
(menyebutkan keburukan) seorang rawi sebagaimana disebut pada point tiga. Ini termasuk memeringatkan
kaum muslimin agar berhati-hati.
5. Dzikru Man Jahara
bil Fisqi wal Bid’ah
Selanjutnya, ghibah
boleh dilakukan dengan syarat objek pembicaraannya adalah orang-orang fasiq,
ahli bid’ah atau pelaku perbuatan-perbuatan
maksiat lainnya. Al-Quran pun meng-ghibah Fir’aun, Qarun, dan Haman. Tiada lain
tujuannya adalah agar manusia tidak berperilaku seperti mereka karena akibatnya
sangat menyengsarakan dunia akhirat.
6. At-Ta’rif
bisy-Syakhshi
Terakhir, bolehnya
ghibah adalah untuk at-ta’rif bisy-syahshi, mengenali seseorang.
Menyebutkan keadaan seseorang, seperti menyebutkan kecacatan, bentuk tubuh,
warna kulit,dll.. Penyebutan keadaan seseorang dalam hal ini
bukan dimaksudkan untuk menggunjing, melainkan untuk mengenali atau mengenalkan
saja.
Ghibah yang Dilarang
Setelah mempelajari keenam hal yang dibolehkan
ghibah, maka dapat ditarik benang merah dengan mafhūm mukhālafah
(pemahaman kebalikannya) bahwa ghibah yang dilarang adalah ghibah di luar enam
hal sebagaimana disebut. Misalnya, ghibah karena memang ingin melampiaskan
kekesalan dan unek-unek kepada seseorang. Atau, menggunjing orang hanya
sekedar bahan pembicaraan saja tidak ada maksud kebaikan sedikitpun.
Penutup
Jika ada seseorang memakan daging bangkai,
apalagi bangkai saudaranya sendiri yang sudah wafat, maka orang tersebut adalah
orang keji tidak punya perasaan dan pikiran. Kalau tidak mau dikatakan keji, ya
mungkin ia adalah orang yang sudah hilang akal pikirannya alias gila.
Kata al-Quran, orang yang ghibah sama saja
dengan memakan daging bangkai saudara. Sekali lagi, bangkai saudara, bukan
bangkai ayam atau binatang lainnya. Nah, jika dipersamakan, orang yang ghibah
itu jika tidak dikatakan berbuat keji, mungkin ia adalah orang yang hilang
“akal” dan “pikiran”-nya?
Maka, jalan terbaik adalah mari hindari ghibah.
Manfaatnya, hati akan merasa plong, dan rezeki pun insya Allah plong. Loh, kok dikaitkan
dengan rezeki? Jangan salah, menghindari ghibah terhadap sesama merupakan salah
satu bentuk menyambungkan tali kasih sayang (silaturahmi). Sedankan,
menyambungkan tali silaturahmi merupakan kunci rezeki yang efektif.
Rezeki yang didapat, bisa saja rezeki berupa materi,
namun yang lebih pasti adalah rezeki non materi. Hidup bahagia dan nyaman
sepanjang masa.
Maka, Stop Ghibah...!!!
0 komentar:
Posting Komentar
Mari meraih kebaikan dengan berbagi. Tinggalkan komentarmu kawan...