“Pak
Ustadz, saya bosan dengan kondisi saya saat ini. Sudah harus bayar kontrakan,
bayar listrik, nunggak pendidikan anak, hutang ke warung, badan pun
sakit-sakitan.” Demikian suara hati seseorang kepada gurunya.
“Apakah
ini memang sudah tertulis sebagai takdir saya, Ustadz? Doa dan usaha sudah saya
lakukan sepenuh hati. Tetapi, semuanya belum kunjung berubah.” tambahnya.
Terlihat
matanya sayup lelah. Wajahnya kelam seperti langit hendak menurunkan rinai
hujan. Pemadangan seperti ini hampir tiap hari terlihat. “Sungguh malangg
nasibnya.” ucap sebagian orang.
Dengan
ilmu dan pengalaman yang dimilikinya Sang Ustadz pun memberikan motivasi.
“Selain bersabar dalam musibah, bersyukurlah terlebih dahulu.” tandas Sang
Ustadz.
“Kehidupan
ini tidak pantas untuk disesali. Apapun keadaannya sebenarnya kita harus
bersyukur.” lanjut Sang Ustadz.
Perkataan
Sang Ustadz menyisakan keheranan dalam benak Si Fulan. Ia tidak ngeh dengannya.
Akhirnya ia menyela, “Maksud Ustadz bagaimana? Apakah musibah yang saat ini
saya alami harus disyukuri?”
“Hm…
Ya, begitulah.” jawab Sang Ustadz lugas.
“Apanya
yang harus disyukuri, Ustadz?” si Fulan tambah penasaran.
“Kang,
antum (Anda) harus tahu bahwa musibah yang diberikan Allah kepada seseorang
adalah bentuk kasih sayang Allah. Pertama, Allah ingin orang itu naik kelas di
hadapan-Nya. Kedua, Allah memberikan musibah agar dosa dan kesalahannya
diampuni. Namun, syaratnya adalah ia harus siap dan bersabar menjalaninya.”
tukas Sang Ustadz.
Memang
benar, harga untuk naik kelas di hadapan Allah dan mendapatkan ampunan Allah
itu sangat mahal. Tidak sembarangan orang bisa mendapatkannya. Sedangkan ini,
orang yang diberi musibah, Allah menjamin akan dinaikkan derajatnya dan akan
diberi ampunan oleh-Nya. Jadi, benar pantas untuk disyukuri (selain bersabar).
Sesungguhnya musibah ini merupakan fasilitas dari Allah untuk mendapatkan kebaikan
melimpah.
“Selain
itu, antum juga harus ingat bahwa yang diberi musibah saat ini bukan hanya
antum, Kang. Buka mata antum lebar-lebar. Berapa ratus bahkan ribu orang yang
saat ini terbaring lemah di rumah sakit karena dijangkit penyakit. Mereka tidak
bisa makan sendiri, harus dibantu dengan infusan. Mereka pun tidak bisa BAB
secara normal. Harus melalui selang.” lanjut Sang Ustadz memotivasi.
“Itu
baru yang di rumah sakit. Belum lagi orang yang kehilangan anggota badannya
karena kecelakaan. Bahkan ada yang kehilangan nyawanya. Banyak juga orang
rumahnya habis dijual untuk membayar hutangnya. Lah, antum? Masih normal, bisa
lalu lalang, masih bisa berjalan, bisa bernapas menghirup udara segar, bisa
bercengkrama dengan keluarga, masih bisa makan lahap meski lauknya dengan ikan
asin. Iya kan?”
Penjelasan
Sang Ustadz memang benar. Masih banyak di luar sana, orang yang musibahnya
lebih berat dibanding musibah yang dialami Si Fulan. Jadi, sebenarnya tidak
layak ia larut mengeluh. Karena, mengeluh hanya akan memperberat beban musibah
yang dialami. Pikiran akan buntu dan jalan keluar pun sukar terhampar. Alangkah
baiknya saat musibah tiba, kita bisa menjalaninya dengan pikiran positif,
tenang, rileks, dan tentunya ada upaya maksimal untuk mencari jalan keluar.
Itulah yang dinamakan sabar.
Hanya
ada satu hal yang kita boleh mengeluh: mengeluh kepada Allah melalui shalat dan
doa. Ya, mengeluh kepada Allah akan menghadirkan ketenangan di hati, kemantapan
dalam melangkah, dan keyakinan yang pool dalam upaya.
Dari
uraian Sang Ustadz, SI Fulan rada ngeh. Pikirannya mulai terbuka dan hatinya
merasa lapang. Mulai saat itu ia bertekad untuk tidak mengeluh lagi. Ia sudah
diingatkan akan adanya Allah yang selalu menemani di setiap langkah. Allah yang
akan selalu menyambut dan memberikan pertolongan kepada hamba-Nya ketika ia
mengeluh kepada-Nya dengan sungguh-sungguh, dengan serius.
“Yang
selanjutnya harus antum lakukan adalah mendekati Allah sedekat-dekatnya.
Kemudian penuhi segala kewajibanmu kepada-Nya. Selain itu, penuhi pula
anjuran-Nya, misalnya shalat sunat, sedekah, hadir di majlis ilmu, membaca dan
menghafal al-Quran, dan anjuran lainnya. Insya Allah, akan ada kekuatan yang
Allah hembuskan ke dalam dirimu. Dan, yakini bahwa mukmin yang kuat lebih baik
dan lebih dicintai Allah. Yang pasti, ia pun lebih dekat pada jalan keluar.”
tutup Sang Ustadz sambil tersenyum meyakinkan si Fulan.
***
Pembaca
yang dirahmati Allah, hidup memang penuh godaan untuk tidak bersyukur atas apa
yang sedang dimiliki. Ini sangat besar dipengaruhi oleh mindset atau
pola pikir hedonisme dan materialisme. Hedonisme artinya padangan hidup yang
menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi (harta, jabatan, posisi,
dll.) adalah tujuan utama hidup. Sedangkan materialsme berarti padangan bahwa
tujuan hidup itu adalah kebendaan: semua serba benda (rumah mewah, mobil mewah,
baju mahal, dll.).
Dalam
kedua paham tersebut unsur jiwa dikesampingkan. Yang termasuk unsur jiwa ini
salah satunya adalah kebahagiaan. Jadi, yang ada hanyalah senang, having fun,
foya-foya, mewah-mewahan, dan lain-lain. Hatinya hampa dari kebahagiaan.
Nah,
jika kedua paham tersebut memengaruhi pikiran manusia, dipastikan ia tidak akan
mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan hidup. Ujung-ujungnya, ia tidak
bersyukur atas apa yang didapatkannya saat ini. Sehingga, masalah hidup yang
menerpa justru tidak membuatnya kuat, malah melemah. Musibah yang tiba bertubi
pun akhirnya menjadi rayap yang terus menggerogoti keyakinannya akan Allah.
Allah yang selalu hadir menantinya dan menyambutnya ketika ia meminta
pertolongan.
Maka,
meluruskan pola pikir atas kehidupan adalah niscaya bagi kita. Jika memang
menghendaki ketenangan dan kebahagiaan hidup. Baik “bahagia karena” maupun
“bahagia meskipun”. Bahagia karena misalnya, “Saya bahagia karena sehat dan
afiyat. Saya bahagia karena memiliki penghasilan yang cukup. Saya bahagia
karena memiliki istri yang shalihah, anak yang shalih, dan rumah yang barakah.”
Sedangkan
bahagia meskipun, misalnya, “Saya tetap bahagia meskipun belum memiliki anak.
Saya pun bahagia meski belum memiliki
rumah pribadi. Saya juga bahagia meskipun penghasilan tidak mencukupi
kebutuhan.” Itulah yang diharapkan hinggap di dada kaum muslimin di tengah
panas dan ganasnya kehidupan.
Dengan
pola pikir yang baik, insya Allah, bagaimanapun kondisi saat ini, ketenangan
dan kebahagiaan akan tetap terjaga. Aamiin…
Selain
itu, pola ibadah, pola sikap, pola kerja, dan pola hidup yang lainnya mesti
dijaga agar tetap baik dan benar. Tidak lain dan tidak bukan tujuannya adalah
B-A-H-A-G-I-A. Bahagia.
0 komentar:
Posting Komentar
Mari meraih kebaikan dengan berbagi. Tinggalkan komentarmu kawan...