Selasa, 18 Februari 2014

Ketika Badai Menghujam



“Pak Ustadz, saya bosan dengan kondisi saya saat ini. Sudah harus bayar kontrakan, bayar listrik, nunggak pendidikan anak, hutang ke warung, badan pun sakit-sakitan.” Demikian suara hati seseorang kepada gurunya.

“Apakah ini memang sudah tertulis sebagai takdir saya, Ustadz? Doa dan usaha sudah saya lakukan sepenuh hati. Tetapi, semuanya belum kunjung berubah.” tambahnya.
 
Terlihat matanya sayup lelah. Wajahnya kelam seperti langit hendak menurunkan rinai hujan. Pemadangan seperti ini hampir tiap hari terlihat. “Sungguh malangg nasibnya.” ucap sebagian orang.

Dengan ilmu dan pengalaman yang dimilikinya Sang Ustadz pun memberikan motivasi. “Selain bersabar dalam musibah, bersyukurlah terlebih dahulu.” tandas Sang Ustadz.

“Kehidupan ini tidak pantas untuk disesali. Apapun keadaannya sebenarnya kita harus bersyukur.” lanjut Sang Ustadz.

Perkataan Sang Ustadz menyisakan keheranan dalam benak Si Fulan. Ia tidak ngeh dengannya. Akhirnya ia menyela, “Maksud Ustadz bagaimana? Apakah musibah yang saat ini saya alami harus disyukuri?”

“Hm… Ya, begitulah.” jawab Sang Ustadz lugas.

“Apanya yang harus disyukuri, Ustadz?” si Fulan tambah penasaran.

“Kang, antum (Anda) harus tahu bahwa musibah yang diberikan Allah kepada seseorang adalah bentuk kasih sayang Allah. Pertama, Allah ingin orang itu naik kelas di hadapan-Nya. Kedua, Allah memberikan musibah agar dosa dan kesalahannya diampuni. Namun, syaratnya adalah ia harus siap dan bersabar menjalaninya.” tukas Sang Ustadz.

Memang benar, harga untuk naik kelas di hadapan Allah dan mendapatkan ampunan Allah itu sangat mahal. Tidak sembarangan orang bisa mendapatkannya. Sedangkan ini, orang yang diberi musibah, Allah menjamin akan dinaikkan derajatnya dan akan diberi ampunan oleh-Nya. Jadi, benar pantas untuk disyukuri (selain bersabar). Sesungguhnya musibah ini merupakan fasilitas dari Allah untuk mendapatkan kebaikan melimpah.

“Selain itu, antum juga harus ingat bahwa yang diberi musibah saat ini bukan hanya antum, Kang. Buka mata antum lebar-lebar. Berapa ratus bahkan ribu orang yang saat ini terbaring lemah di rumah sakit karena dijangkit penyakit. Mereka tidak bisa makan sendiri, harus dibantu dengan infusan. Mereka pun tidak bisa BAB secara normal. Harus melalui selang.” lanjut Sang Ustadz memotivasi.

“Itu baru yang di rumah sakit. Belum lagi orang yang kehilangan anggota badannya karena kecelakaan. Bahkan ada yang kehilangan nyawanya. Banyak juga orang rumahnya habis dijual untuk membayar hutangnya. Lah, antum? Masih normal, bisa lalu lalang, masih bisa berjalan, bisa bernapas menghirup udara segar, bisa bercengkrama dengan keluarga, masih bisa makan lahap meski lauknya dengan ikan asin. Iya kan?”

Penjelasan Sang Ustadz memang benar. Masih banyak di luar sana, orang yang musibahnya lebih berat dibanding musibah yang dialami Si Fulan. Jadi, sebenarnya tidak layak ia larut mengeluh. Karena, mengeluh hanya akan memperberat beban musibah yang dialami. Pikiran akan buntu dan jalan keluar pun sukar terhampar. Alangkah baiknya saat musibah tiba, kita bisa menjalaninya dengan pikiran positif, tenang, rileks, dan tentunya ada upaya maksimal untuk mencari jalan keluar. Itulah yang dinamakan sabar.

Hanya ada satu hal yang kita boleh mengeluh: mengeluh kepada Allah melalui shalat dan doa. Ya, mengeluh kepada Allah akan menghadirkan ketenangan di hati, kemantapan dalam melangkah, dan keyakinan yang pool dalam upaya.

Dari uraian Sang Ustadz, SI Fulan rada ngeh. Pikirannya mulai terbuka dan hatinya merasa lapang. Mulai saat itu ia bertekad untuk tidak mengeluh lagi. Ia sudah diingatkan akan adanya Allah yang selalu menemani di setiap langkah. Allah yang akan selalu menyambut dan memberikan pertolongan kepada hamba-Nya ketika ia mengeluh kepada-Nya dengan sungguh-sungguh, dengan serius.

“Yang selanjutnya harus antum lakukan adalah mendekati Allah sedekat-dekatnya. Kemudian penuhi segala kewajibanmu kepada-Nya. Selain itu, penuhi pula anjuran-Nya, misalnya shalat sunat, sedekah, hadir di majlis ilmu, membaca dan menghafal al-Quran, dan anjuran lainnya. Insya Allah, akan ada kekuatan yang Allah hembuskan ke dalam dirimu. Dan, yakini bahwa mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah. Yang pasti, ia pun lebih dekat pada jalan keluar.” tutup Sang Ustadz sambil tersenyum meyakinkan si Fulan.

***

Pembaca yang dirahmati Allah, hidup memang penuh godaan untuk tidak bersyukur atas apa yang sedang dimiliki. Ini sangat besar dipengaruhi oleh mindset atau pola pikir hedonisme dan materialisme. Hedonisme artinya padangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi (harta, jabatan, posisi, dll.) adalah tujuan utama hidup. Sedangkan materialsme berarti padangan bahwa tujuan hidup itu adalah kebendaan: semua serba benda (rumah mewah, mobil mewah, baju mahal, dll.).

Dalam kedua paham tersebut unsur jiwa dikesampingkan. Yang termasuk unsur jiwa ini salah satunya adalah kebahagiaan. Jadi, yang ada hanyalah senang, having fun, foya-foya, mewah-mewahan, dan lain-lain. Hatinya hampa dari kebahagiaan.

Nah, jika kedua paham tersebut memengaruhi pikiran manusia, dipastikan ia tidak akan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan hidup. Ujung-ujungnya, ia tidak bersyukur atas apa yang didapatkannya saat ini. Sehingga, masalah hidup yang menerpa justru tidak membuatnya kuat, malah melemah. Musibah yang tiba bertubi pun akhirnya menjadi rayap yang terus menggerogoti keyakinannya akan Allah. Allah yang selalu hadir menantinya dan menyambutnya ketika ia meminta pertolongan.

Maka, meluruskan pola pikir atas kehidupan adalah niscaya bagi kita. Jika memang menghendaki ketenangan dan kebahagiaan hidup. Baik “bahagia karena” maupun “bahagia meskipun”. Bahagia karena misalnya, “Saya bahagia karena sehat dan afiyat. Saya bahagia karena memiliki penghasilan yang cukup. Saya bahagia karena memiliki istri yang shalihah, anak yang shalih, dan rumah yang barakah.”

Sedangkan bahagia meskipun, misalnya, “Saya tetap bahagia meskipun belum memiliki anak. Saya pun bahagia meski  belum memiliki rumah pribadi. Saya juga bahagia meskipun penghasilan tidak mencukupi kebutuhan.” Itulah yang diharapkan hinggap di dada kaum muslimin di tengah panas dan ganasnya kehidupan.

Dengan pola pikir yang baik, insya Allah, bagaimanapun kondisi saat ini, ketenangan dan kebahagiaan akan tetap terjaga. Aamiin…

Selain itu, pola ibadah, pola sikap, pola kerja, dan pola hidup yang lainnya mesti dijaga agar tetap baik dan benar. Tidak lain dan tidak bukan tujuannya adalah B-A-H-A-G-I-A. Bahagia.

0 komentar:

Posting Komentar

Mari meraih kebaikan dengan berbagi. Tinggalkan komentarmu kawan...