Sudah
dijelaskan di kajian yang lalu bahwa rezeki secara etimologi adalah sesuatu
yang sedang atau telah dimanfaatkan. Demikian pendapat an-Naysaburi dalam
tafsirnya.
Sedangkan
secara istilah, Imam al-Jurjani dalam at-Ta’rifat mengungkpakn bahwa rezeki
adalah:
اِسْمٌ لِمَا يَسُوْقُهُ
اللهُ إِلَى الْحَيَوَانِ فَيَأْكُلُهُ فَيَكُوْنُ مُتَنَاوِلًا لِلْحَلَالِ
وَالْحَرَامِ
“Suatu nama untuk melambangkan
apa-apa yang Allah berikan kepada hewan (makhluk), lalu ia (hewan) memakannya
baik itu yang halal maupun yang haram”.
Definisi rezeki lain
diungkap oleh asy-Sya’rawi dalam tafsirnya:
كُلُّ مَا يُنْتَفَعُ بِهِ مِنْ مَأْكَلٍ أَوْ
مَشْرَبٍ أَوْ مَلْبَسٍ أَوْ مَسْكَنٍ أَوْ مُرَافِقٍ وَقَدْ يَأْتِي فِي صُوْرَةٍ
مَعْنَوِيَّةٍ كَالْعِلْمِ وَالْحِلْمِ . . إلخ
“Segala sesuatu
yang bisa dimanfaatkan dari makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, atau
teman bergaul. Terkadang rezeki datang dalam bentuk ma’nawiyah seperti ilmu,
sikap lemah lembut, dan lain-lain”
Bedakan
antara milik dengan rezeki. Ayo, ada yang tahu apa beda antara milik dan
rezeki? Sok diskusikan aja ya, he… J
Fokus kita pada kesempatan ini adalah tentang konsep rezeki.
Baik,
kita mulai ya…
Menurut
para ulama, terdapat empat macam konsep tentang rezeki, yaitu:
1. مَقْسُوْمٌ بقَضَاء الله
(dibagikan atas ketentuan Allah)
Teman
saya, baru lulus kuliah. Lalu, ia ikutan CPNS. Dan, ternyata… ia lulus dalam
tes CPNS. Alhamdulillah.. Di lain kesempatan, beberapa rekan guru senior yang
sudah mengabdi belasan tahun, ia belum juga mendapat hasil yang bagus pada tes
CPNS. Mereka ditolak berulang kali.
Teman
saya yang lain, lulus dari Pertanian UNPAD. Beberapa tahun, lamarannya ditolak.
Akhirnya ia bekerja sebagai staf di sebuah perusahaan asuransi. Tak lama
berselang, ia resign. Dan, setelah beberapa tahun kini ia memiliki usaha online
dengan staf dan karyawan yang cukup banyak. Hasilnya luar biasa.
Saya
yakin, teman-teman di sini juga memiliki teman yang identic pengalaman hidupnya
dengan teman saya itu. Atau mungkin Anda sendiri yang mengalaminya.
Tahu
tidak kenapa hal itu terjadi?
Ya,
jawabannya karena rezeki (dalam hal ini rezeki materi) orang itu maqsumun bi
qadha`illah (dibagikan atas ketentuan Allah). Bukan oleh Negara, bukan oleh
majikan, bukan oleh orang tua, bukan pula oleh diri sendiri.
2. مَمْلُوْكٌ بالإخْتيَار
(dimiliki dengan usaha)
Konsep
yang kedua, rezeki itu akan dimiliki jika ada usaha dulu. Jangan jauh-jauh
contohnya: Anda hendak minum. Segelas air sudah di deepan mata di atas meja. Apakah
jika Anda hanya diam dan memandanginya, kemudian air itu tiba-tiba membasahai
tenggorokan Anda? Oh tidakbisa…! Anda harus mengambilnya, lalu mengarahkannya
ke mulut, dan meneguknya.
Pekerjaan
demikian namanya ikhtiyar alias usaha.
Itu
baru seteguk air. Lah kalau rezeki secara universal, tentunya ikhtiyar maksimal
mutlak diperlukan.
Yang
perlu diperhatikan juga adalah: rezeki itu jangan dicari. Loh kok? Iya dong. Kan
rezeki itu sudah ada, jadi jangan dicari. Rezeki itu dijemput. Dijemput dengan
ikhtiyar semampunya.
3. مَعْهُوْدٌ بالشرْط
(dijanjikan dengan syarat)
Yang
ini sudah dibahas di kajian yang lalu bahwa rezeki itu dijanjikan oleh Allah
dengan sebuah syarat. Dan, syarat itu adalah TAKWA. Dalilnya, teman-teman juga
sudah tahu. Terdapat dalam al-Quran Surat ath-Thalaq ayat 2-3:
وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
وَ يَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ
“...dan siapa saja yang bertakwa kepada Allah, Allah
akan menjadikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari jalan yang
tidak disangka-sangka...” (Q.S. ath-Thalaq [65]: 2-3).
Maka,
bertakwalah karena dengan takwa rezeki tak disangka (kuantitasnya, arahnya,
caranya) akan Allah alirkan secara autodebit. Nah, bagaimana cara takwa?
Ini
saya kutip kembali definisi takwa secara esensial:
حِفْظُ النَّفْسِ عَمَّا
يُؤْثِمُ بِامْتِثَالِ أَوَامِرِ اللهِ وَاجْتِنَابِ
نَوَاهِيْهِ تَجَنُّبًا لِعَذَابِهِ
“Menjaga diri dari
hal yang dapat menyebabkan dosa dengan melaksanakan perintah-perintah Allah dan
menjauhi segala larangan-Nya karena menghindari siksa Allah”.
Jadi, bertakwa
berarti meninggalkan segala dosa dan maksiat dengan teknis menjalankan perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya. Simpel kan? Namun, prakteknya itu yang perlu
perjuangan hebat. Dan, saya yakin teman-teman siap untuk mewujudkannya.
4. للإستدراج
(sebagai pemerdayaan)
Yang
terakhir, rezeki itu diberikan sebagai pemerdaya (Sunda: panyungkun). Biarlah dia
dikasih rezeki besar di dunia, tetapi di akhirat ia sungguh sengsara. Itu dia
maksudnya.
Pertanyaannya
adalah, bagi siapa rezeki sebagai istidraj?
Jawaban
para ulama adalah bagi siapa saja, yang penting manusia, yang enggan taat
kepada Allah. Tidak mau zakat, padahal sudah wajib zakat; maka rezekinya adalah
istidraj. Tidak mau pergi haji, padahal bekal (materi, kesehatan, waktu,
dan ilmu) sudah siap; maka rezekinya istidraj. Demikian seterusnya…
Demikian
kajian di kesempatan ini. Silahkan ditelaah, dan mari berdiskusi jika ada yang
perlu didiskusikan…
0 komentar:
Posting Komentar
Mari meraih kebaikan dengan berbagi. Tinggalkan komentarmu kawan...