Jumat, 22 Agustus 2014

Empat Konsep Rezeki



Sudah dijelaskan di kajian yang lalu bahwa rezeki secara etimologi adalah sesuatu yang sedang atau telah dimanfaatkan. Demikian pendapat an-Naysaburi dalam tafsirnya.

Sedangkan secara istilah, Imam al-Jurjani dalam at-Ta’rifat mengungkpakn bahwa rezeki adalah:
اِسْمٌ لِمَا يَسُوْقُهُ اللهُ إِلَى الْحَيَوَانِ فَيَأْكُلُهُ فَيَكُوْنُ مُتَنَاوِلًا لِلْحَلَالِ وَالْحَرَامِ
“Suatu nama untuk melambangkan apa-apa yang Allah berikan kepada hewan (makhluk), lalu ia (hewan) memakannya baik itu yang halal maupun yang haram”.

Definisi rezeki lain diungkap oleh asy-Sya’rawi dalam tafsirnya:
كُلُّ مَا يُنْتَفَعُ بِهِ مِنْ مَأْكَلٍ أَوْ مَشْرَبٍ أَوْ مَلْبَسٍ أَوْ مَسْكَنٍ أَوْ مُرَافِقٍ وَقَدْ يَأْتِي فِي صُوْرَةٍ مَعْنَوِيَّةٍ كَالْعِلْمِ وَالْحِلْمِ . . إلخ
“Segala sesuatu yang bisa dimanfaatkan dari makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, atau teman bergaul. Terkadang rezeki datang dalam bentuk ma’nawiyah seperti ilmu, sikap lemah lembut, dan lain-lain”

Bedakan antara milik dengan rezeki. Ayo, ada yang tahu apa beda antara milik dan rezeki? Sok diskusikan aja ya, he… J Fokus kita pada kesempatan ini adalah tentang konsep rezeki.

Baik, kita mulai ya…

Menurut para ulama, terdapat empat macam konsep tentang rezeki, yaitu:

1. مَقْسُوْمٌ بقَضَاء الله
(dibagikan atas ketentuan Allah)
Teman saya, baru lulus kuliah. Lalu, ia ikutan CPNS. Dan, ternyata… ia lulus dalam tes CPNS. Alhamdulillah.. Di lain kesempatan, beberapa rekan guru senior yang sudah mengabdi belasan tahun, ia belum juga mendapat hasil yang bagus pada tes CPNS. Mereka ditolak berulang kali.

Teman saya yang lain, lulus dari Pertanian UNPAD. Beberapa tahun, lamarannya ditolak. Akhirnya ia bekerja sebagai staf di sebuah perusahaan asuransi. Tak lama berselang, ia resign. Dan, setelah beberapa tahun kini ia memiliki usaha online dengan staf dan karyawan yang cukup banyak. Hasilnya luar biasa.

Saya yakin, teman-teman di sini juga memiliki teman yang identic pengalaman hidupnya dengan teman saya itu. Atau mungkin Anda sendiri yang mengalaminya.

Tahu tidak kenapa hal itu terjadi?

Ya, jawabannya karena rezeki (dalam hal ini rezeki materi) orang itu maqsumun bi qadha`illah (dibagikan atas ketentuan Allah). Bukan oleh Negara, bukan oleh majikan, bukan oleh orang tua, bukan pula oleh diri sendiri.

2. مَمْلُوْكٌ بالإخْتيَار
(dimiliki dengan usaha)
Konsep yang kedua, rezeki itu akan dimiliki jika ada usaha dulu. Jangan jauh-jauh contohnya: Anda hendak minum. Segelas air sudah di deepan mata di atas meja. Apakah jika Anda hanya diam dan memandanginya, kemudian air itu tiba-tiba membasahai tenggorokan Anda? Oh tidakbisa…! Anda harus mengambilnya, lalu mengarahkannya ke mulut, dan meneguknya.

Pekerjaan demikian namanya ikhtiyar alias usaha.

Itu baru seteguk air. Lah kalau rezeki secara universal, tentunya ikhtiyar maksimal mutlak diperlukan.

Yang perlu diperhatikan juga adalah: rezeki itu jangan dicari. Loh kok? Iya dong. Kan rezeki itu sudah ada, jadi jangan dicari. Rezeki itu dijemput. Dijemput dengan ikhtiyar semampunya.

3. مَعْهُوْدٌ بالشرْط
(dijanjikan dengan syarat)
Yang ini sudah dibahas di kajian yang lalu bahwa rezeki itu dijanjikan oleh Allah dengan sebuah syarat. Dan, syarat itu adalah TAKWA. Dalilnya, teman-teman juga sudah tahu. Terdapat dalam al-Quran Surat ath-Thalaq ayat 2-3:
وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَ يَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ
“...dan siapa saja yang bertakwa kepada Allah, Allah akan menjadikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka...” (Q.S. ath-Thalaq [65]: 2-3).

Maka, bertakwalah karena dengan takwa rezeki tak disangka (kuantitasnya, arahnya, caranya) akan Allah alirkan secara autodebit. Nah, bagaimana cara takwa?

Ini saya kutip kembali definisi takwa secara esensial:
حِفْظُ النَّفْسِ عَمَّا يُؤْثِمُ بِامْتِثَالِ أَوَامِرِ اللهِ وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ تَجَنُّبًا لِعَذَابِهِ
 “Menjaga diri dari hal yang dapat menyebabkan dosa dengan melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya karena menghindari siksa Allah”.

Jadi, bertakwa berarti meninggalkan segala dosa dan maksiat dengan teknis menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Simpel kan? Namun, prakteknya itu yang perlu perjuangan hebat. Dan, saya yakin teman-teman siap untuk mewujudkannya.

4. للإستدراج
(sebagai pemerdayaan)
Yang terakhir, rezeki itu diberikan sebagai pemerdaya (Sunda: panyungkun). Biarlah dia dikasih rezeki besar di dunia, tetapi di akhirat ia sungguh sengsara. Itu dia maksudnya.

Pertanyaannya adalah, bagi siapa rezeki sebagai istidraj?

Jawaban para ulama adalah bagi siapa saja, yang penting manusia, yang enggan taat kepada Allah. Tidak mau zakat, padahal sudah wajib zakat; maka rezekinya adalah istidraj. Tidak mau pergi haji, padahal bekal (materi, kesehatan, waktu, dan ilmu) sudah siap; maka rezekinya istidraj. Demikian seterusnya…

Demikian kajian di kesempatan ini. Silahkan ditelaah, dan mari berdiskusi jika ada yang perlu didiskusikan…

Wallahu a’lam

0 komentar:

Posting Komentar

Mari meraih kebaikan dengan berbagi. Tinggalkan komentarmu kawan...