Mereka Lebih Berat Hidupnya
Tubuh
boleh cacat, tapi Dori tetap menyempurnakan tanggungjawabnya sebagai kepala
keluarga. Selada air yang terhampar di lereng gunung Slamet menjadi sumber
rupiah bagi Dori. Bila selada air sedang tak laku dijual, Dori dan keluarga
terpaksa makan ganyong demi mengganjal perut yang lapar.
“Tuhan itu adil. Saya punya uang sedikit
untuk kasih makan anak. Sampai akherat yang ditanyain soal anak. Tapi kalau
banyak harta, yang ditanyain hartanya. Alhamdulillah, Tuhan menitipkan anak, ya
saya rawat. Kalau saya nanti meninggal, anak yang mendoakan” Demikian tandas
Dori.
Ada pula kisah Mak Epat yang tak pernah
lelah menanti anak-anak tercintanya untuk pulang. Di ujung usianya, Mak Epat tak
pernah berhenti berdoa agar bisa dipertemukan kembali dengan anak-anaknya yang
hilang empat tahun silam. Membuat serta menjajakan kue bugis dan jalabria
menjadi sumber penghidupan Mak Epat. Penghasilan sepuluh hingga lima belas ribu
dari menjual kue, nyatanya tak cukup juga untuk membayar hutang yang tak
kunjung selesai.
Identik dengan Mak Epat, Daryani
mengalami hal serupa. Sang suami tak pernah ada kabar sejak meninggalkannya bersama
Rizki. Sungai Sikampuh menjadi saksi perjuangan Daryani mengais rezeki demi
menyambung hidup. Uang lima ribu rupiah baru akan ia terima bila sudah mendapat
seember kima (kerang). Rizki sang anak pun tak mau tinggal diam melihat sang
ibu bekerja sendirian. Meski Rizki memiliki kekurangan, tak menghalangi niatnya
untuk berbakti kepada sang ibu.
Lain halnya dengan Suni. Sejak sang ayah
sakit, Suni menopang segala kebutuhan hidup keluarga. Musim penghujan menjadi
berkah tersendiri bagi Suni. Kondisi sawah yang penuh air dimanfaatkan Suni
untuk mencari belut. Tiga ribu rupiah dari menjual belut setidaknya bisa
digunakan untuk membeli beras setengah kilogram.
Begitu juga dengan Omah. Demi menyambung
hidup, peluang rezeki apapun akan Omah ambil, termasuk menjadi penjual sendok
bekas. Meski uang tak selalu ia dapat setiap harinya, setidaknya ada yang bisa
ia harapkan dari sendok-sendok bekas yang berhasil ia kumpulkan. Dua ribu lima
ratus rupiah baru akan ia dapat bila telah terjual satu lusin sendok bekas.
Usia yang tak lagi muda tak memungkinan bagi Omah untuk mendapatkan pekerjaan
yang lebih baik dari yang ia jalani sekarang.
Bersyukurlah!
Lima
kisah pilu tersebut yang ditayangkan salah satu tv swasta dalam programnya
“Orang Pinggiran” sudah cukup menjadi sampel bahwa masih ada orang lain yang
lebih sengsara. Ini sewajarnya menjadi bahan syukuran kita kepada Allah. Ternyata, kesusahan hidup yang dialami tidak seberapa jika
dibanding dengan kesusahan mereka.
Oleh karena itu, Rasululan
saw. memberi nasehat:
أُنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ
مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا
نِعْمَةَ اَللَّهِ عَلَيْكُمْ
“Perhatikanlan orang
yang lebih bawah darimu dan janganlah memerhatikan orang yang lebih atas
darimu” (HR Muttafaqun ‘Alaih).
Memerhatikan dan memikirkan kehidupan orang yang ada di atas kita, bisa
saja membuat kita tidak bersyukur atas apa yang saat ini kita miliki.
Akibatnya, hati dipenuhi iri, pikiran tidak nyaman, dan dada terasa sesak. Jika
hal tersebut sudah menjangkit, fisik pun akan mulai sakit (psikomatis: penyakit
fisik yang diakibatkan oleh pikiran dan perasaan).
Logis jika Rasulullah saw. menasehati sebagaimana hadits tadi. Melihat
dan memerhatikan orang yang lebih rendah dari kita, katakanlah lebih fakir,
berpotesi untuk mendorong diri kita bersyukur dengan keadaan diri saat ini.
Meskipun penghasilan tak seberapa, meskipun rumah reot, meskipun
pendidikan hanya tamatan SD, meskipun nganggur, meskipun makan dengan
garam dan ikan asin; toh masih bisa menghirup udara bebas, masih bisa
berjalan kaki, masih bisa melihat alam yang indah, masih bisa beribadah kepada
Allah SWT. Sementara itu mereka lebih berat beban hidunya dibanding kita. Demikian
kiranya kalimat yang akan muncul dari hati akibat syukur yang disebabkan
memerhatikan orang yang lebih susah dan sengsara.
Iri pun Harus
Tetapi, untuk masalah-masalah ibadah,
amal saleh, dan kebaikan-kebaikan lainnya, kita mesti merasa iri. Iri dalam hal
ini justru dibolehkan oleh Rasulullah saw.. Namun iri di sini dimaksdukan agar
di-follow up-i dengan amal semisalnya, minimal ada niat ingin beramal seperti
itu.
Si Fulan adalah donatur bagi kemajuan dakwah Quran-Sunnah. Hartanya ia
distribusikan untuk pembangunan masjid, madrasah, dan fasilitas ibadah lainnya.
Lalu terbersit di benak Si Fulan yang lain, “Saya iri dengan bapak Fulan. Ia
bisa berjuangan dengan hartanya. Ingin kiranya saya seperti dia.”. Hal ini
adalah iri yang boleh.
Atau ada seseorang yang giat ke pengajian, giat tahajud, giat dhuha, dan
giat dalam amal-amal saleh lainnya. Kemudian, seseorang yang lain bergumam,
“Saya iri dengan Si Anu. Ia bisa giat beribadah. Sementara waktu saya habis di
pasar dan di toko. Ke pengajian pun jarang bahkan tidak pernah. Berjamaah
shalat pun kerap telat.”. Iri ini pun iri yang boleh.
Namun, setelah iri tersebut segera di-follow up-i alias
ditindaklanjuti dengan niat dan amal nyata. Niat itu akan Allah catat sebagai
sebuah kebaikan. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا
كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةً وَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَعَمِلَهَا كُتِبَتْ لَهُ عَشْرًا
إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا لَمْ تُكْتَبْ
وَإِنْ عَمِلَهَا كُتِبَت
“Siapa yang
bercita-cita (niat) melakukan sebuah kebaikan tetapi belum sempat
mengamalkannya, dicatat baginya sebuah kebaikan. Siapa yang bercita-cita
melakukan kebaikan kemudian ia mengamalkannya, dicatat baginya 10 sampai 700
kali lipat. Siapa yang bercita-cita melakukan keburukan tetapi ia tidak melakukannya,
tidak dicatat sebagai sebuah keburukan. Tetapi, jika ia mengamalkannya, maka
dicatat sebagai sebuah keburukan.”. (HR Bukhari dan Muslim, dengan lafad
Muslim).
Kembali ke permasalah di awal bahwa dalam hidup ini keadaan orang
berbeda-beda, dalam urusan dunia dan akhirat. Perbedaan dalam urusan dunia,
dalam hal ini ekonomi, tidal boleh menjadi penyebab iri. Justru kita mesti
bersyukur kepada Allah karena ternyata masih banyak saudara kita yang jauh
lebih susah dan sengsara.
Namun, perbedaan dalam urusan akhirat, dalam hal ini amal saleh atau
ibadah, harusnya menjadi pemacu dan pemicu agar kita lebih giat beribadah
kepada Allah. Inilah yang dimaksud dengan berlomba dalam kebaikan sebagaimana
firman Allah, “Fastabiqul khairat. Berlombalah dalam kebaikan-kebaikan!”.
0 komentar:
Posting Komentar
Mari meraih kebaikan dengan berbagi. Tinggalkan komentarmu kawan...