Salah
satu berita menarik yang menghiasi media massa Indonesia akhir-akhir ini adalah
mengenai Ustadz Pasang Tarif Dakwah. Bahkan rumor yang berkembang tarif Sang
Ustadz sekitar 100 juta rupiah untuk dakwahnya. Saya dan Anda tentunya tidak
mau terjebak dalam pemberitaan ini. Terlepas dari fakta atau tidaknya berita
ini, baiknya kita mengambil ibrah saja bukan menyebarkan hal yang masih
“syubhat” benar-tidaknya ini.
Dakwah itu Ibadah
Seperti
halnya shalat, zakat, shaum, dan ibadah haji; dakwah adalah kewajiban setiap
muslim. Kewajiban dakwah ini tergantung kemampuan dan kecakapan masing-masing.
Karena, wajibnya dakwah ada dua macam, yaitu wajib individual dan wajib
representasi.
Wajib individual atau yang masyhur
disebut fardlu ‘ain, dialamatkan
kepada setiap muslim, tidak pandang bulu. Artinya, siapa saja yang dirinya
mengaku sebagai muslim, ia wajib berdakwah. Karena dakwah itu tergantung
kesanggupan dan kecakapan, maka dakwah yang dimaksud bisa dengan lisan, mengajak dan menansehati
secara verbal; maupun dakwah dengan akhlak.
Saya kira dakwah secara lisan tidak
semua muslim mampu., tetapi dakwah dengan akhlak insya Allah semua muslim
mampu. Kongkrit
dakwahnya, berakhlaklah dengan akhlak yang mulia seperti ajaran dan teladan
Nabi, mulai dari akhlak hati, pikiran, lisan, perbuatan, gestur tubuh, dan
sikap diri. Ini semua adalah dakwah. Dan, semua pasti bisa! Maka, wajiblah
seorang muslim memiliki akhlak yang mulia karena dengan akhlak yang mulia
berarti ia sedang berdakwah.
Adapun wajib representasi yang lazim disebut fardlu kifayah adalah
kewajiban dakwah dalam hal tertentu yang dialamatkan terhadap orang tertentu
yang memiliki kemampuan tertentu. Misalnya, dakwah di mimbar. Semua orang belum
tentu mampu berdakwah di mimbar atau di hadapan khalayak banyak. Pasalnya,
selain ilmu yang harus dimiliki, cara atau metode dakwah pun perlu dikuasai.
Ada sebuah ungkapan:
اَلْمَادَّةُ أَهَمُّ مِنَ اَلطَّرِيْقَةِ
“Materi (dakwah) itu lebih penting daripada metode (dakwah)”.
Ada pula ungkapan yang berbeda:
اَلطَّرِيْقَةُ أَهَمُ مِنَ الْمَادَّةِ
“Metode lebih penting daripada materi”.
Menurut hemat saya, baik materi maupun
metode dakwah sebagaimana yang diungkapkan di atas, sama-sama penting. Keduanya
mesti dikuasai oleh da’i atau muballig. Karena keduanya urgen dan tidak semua mampu
menggabungkannya, maka kewajiban dakwah dalam hal ini dialamatkan kepada orang
muslim yang memiliki kemampuan di bidang public
speaking.
Contoh lain adalah dakwah dengan media yang salah satunya dengan media
tulisan (buku, majalah, tabloid, dll.). Bagi yang memiliki bakat dan minat
dalam kepenulisan, dakwah bisa diupayakan dengan writing skill atau kecakapan menulis yang dimilikinya. Da’wah bil kitabah (dakwah dengan tulisan)
merupakan bagian dari dakwah kreatif. Selain itu, tulisan mampu mengikat ilmu
seperti yang dijelaskan dalam pelajaran adabiyah:
أَلْعِلْمُ كَالصَّيْدِ، قَيِّدْ صَيْدَكَ بِالْكِتابَةِ
“Ilmu itu bagaikan binatang buruan. Ikatlah binatang buruanmu
itu dengan tulisan”.
Dari pemaparan tersebut, penekanannya adalah dakwah itu wajib bagi umat
Islam. Jika dakwah itu wajib, berarti dakwah adalah ibadah.
Dakwah: Penyelamatan Umat
Misalnya Si Fulan adalah seseorang yang
giat dalam amal bid’ah, amal yang tidak ada perintah dan teladan Nabi saw..
Setelah menyimak dakwah Quran-Sunnah lalu ia berubah, meninggalkan dan
menanggalkan amal bid’ahnya itu. Kemudian, dengan niat ikhlas ia getol beramal
sesuai juklak dan juknis dalam al-Quran dan al-Hadits. Maka, bisa dikatakan
bahwa Si Fulan telah terselamatkan melalui dakwah yang ia simak.
Gambaran ini menyuratkan makna bahwa dakwah merupakan upaya penyelamatan
terhadap umat. Karena itu, jika kita berdakwah dengan masing-masing kemampuan,
sama saja kita melakukan penyelamatan terahdap umat. Inilah yang kemudian harus
ditanamkan setiap da’i atau muballigh sebelum memulai dakwahnya: menyelamatkan
ibadah umat dan menyelamatkan umat dalam beribadah.
Dakwah v.s. Bisnis
Lalu, bagaimana kalau ada da’i atau
muballig mengharapkan upah dari dakwahnya, bahkan sampai memasang tariff
segala? Bolehkah hal
demikian?
Ikhwata iman, menjemput rezeki
adalah kewajiban bagi manusa berakal teruatama manusia muslim, terlebih lagi muslim
laki-laki. Selain memelihara fitrah kemanusiaan untuk mempertahankan kehidupan,
menjemput rezeki merupakan menifestasi ketaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Dalam arti lain, menjemput rezeki adalah ibadah.
Oleh karena itu, kita sebagai hayawanun
nathiq atau hewan yang berbicara (berakal, berpikir) mesti memutar otak
bagaimana caranya agar rezeki diperoleh.
Ada sebuah ungkapan, “Rezeki itu tidak
akan kemana-mana. Tetapi, kalau tidak kemana-mana, rezeki akan pergi
kemana-mana”. Tepat sekali! Rezeki itu, meskipun sudah ada takarannya, selaras
dengan ikhtiar. Ikhtiar yang maksimal memungkinkan perolehan rezeki yang lebih
besar daripada ikhtiar sapurunna. Selain itu, ikhtiar maksimal yang
diiringi dengan ilmu sangat mungkin menghadirkan rezeki melimpah ruah pus
berkah.
Nah, sekarang bisakah dakwah dijadikan
salah satu ikhtiar menjemput rezeki? Bisakah dakwah menjadi komoditi penambah
pundi bagi para da’i?
Kembali kepada permasalahan awal bahwa
dakwah adalah kewajiban, dakwah adalah ibadah. Seorang da’i tidak boleh menodai
dan mencederai kesakralan dakwah dengan kepentingan duniawi yang fana.
Tidak etis dan tidak dikenankan seseorang berdakwah, kemudian ia meminta upah
dari dakwahnya. Hal seperti ini, bisa saja termasuk menjualbelikan ayat Allah
dan hadits Nabi.
Dalam al-Quran, Allah SWT berfirman:
وَ لاَ تَشْتَرُوْا بِآيَاتِى ثَمَنًا قَلِيْلاً
“... dan
janganlah kalian menjualbelikan ayat-ayat-Ku (apalagi) dengan harga yang
sedikit (murah)!”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 41).
Simbiosis Mutualisme
Adapun ketika da’i berdakwah, kemudian
jamaah majlis ilmu memberikan semacam angpau untuk da’i melalui DKM atau
jam’iyah, misalnya, silahkan saja itu diterima. Namun, tidak usah menganggapnya
sebagai upah dakwah karena dakwah tidak bisa ditukar dengan materi. Anggap saja
itu adalah kadeudeuh untuk da’i.
Dalam Ilmu Biologi terdapat istilah simbiosis mutualisme. Apa
itu? Simbiosis mutualisme adalah suatu interaksi antara dua makhluk
hidup yang saling menguntungkan. Misalnya, pola interaksi antara bunga dan lebah. Lebah memperoleh madu
yang manis dan menyehatkan dengan cara menyerap sari dari kelopak bunga yang
memang manis. Dan,
dengan kegiatan menghisap sari tersebut sebenarnya lebah tak hanya untung
tetapi juga membantu sang bunga melakukan kegiatan reproduksi yakni proses
penyerbukan. Lebah yang menghisap nectar bunga akan membawa serbuk sari dari
bunga yang satu ke bunga lainnya sehingga terjadilah proses penyerbukan secara
alamiah. Selain lebah, kupu-kupu juga membentuk simbiosis yang saling
menguntungkan dengan bunga. Polanya sama dengan lebah.
Demikian pula dalam dakwah, simbosis mutualisme bisa terjadi
yakni antara da’i atau muballig dengan umat. Da’i atau muballig memberikan ilmu
untuk umat, sedangkan umat memberikan kadeudeuh untuk da’i melalui DKM
atau Jam’iyah.
Wajarkah? Sangat wajar! Namun, meskipun demikian, tetap saja di benak
da’i atau muballig jangan ada orientasi untuk mendapatkan kadeudeuh
tersebut dalam dakwahnya. Ini bisa saja menggeser dan menggusur keikhlasan di
hati. Jangan sampai ada da’i pilih-pilih jamaah pengajian. Yang dipilih adalah
yang kadeudeuh-nya lebih besar. Tidak etis kelihatannya.
Kesimpulan
Berdakwah adalah kewajiban dan ibadah.
Tidak etis dan tidak dikenankan seorang da’i menggunakan dakwah sebagai
fasilitas meraup keuntungan materi, apalagi sampai pasang tarif segala. Ini
sungguh di luar karakteristik Islam.
Adapun ketika umat
memberikan kadeudeuh, terima saja tetapi menganggapnya sebagai upah.
Ingat, dakwah bukan pekerjaan atau profesi. Dakwah dan kadeudeuh merupakan
manifestasi simbiosis mutualisme.
Wallahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar
Mari meraih kebaikan dengan berbagi. Tinggalkan komentarmu kawan...