Hukum
Membaca al-Quran
Membaca al-Quran merupakan kewajiban setiap
muslim. Ini bisa dilihat dari amr-amr (perintah) membaca Quran dalam
al-Quran dan Hadits Rasulullahs saw.. Salah satu hadits yang menujukkan wajib
membaca al-Quran adalah sebagai berikut:
اقْرَؤُوا القُرْآنَ ؛ فَإنَّهُ يَأتِي يَوْمَ القِيَامَةِ شَفِيعاً لأَصْحَابِهِ
“Bacalah oleh kalian
al-Quran, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat sebagai pembawa
syafaat bagi para sahabatnya” (H.R. Muslim).
Fadilah
Membaca al-Quran
Untuk mengatahui fadilah membaca al-Quran
silahkan klik di sini
Tentang
Haid
Arti Haid
Secara etimologi, haid berasal dari bahasa
Arab yakni dari kata حَاضَ – يَحِيْضُ -
حَيْضًا
yang arti asalnya adalah اَلسِّيْلاَنُ (mengalir).
Adapun secara terminologi atau syara’, haid
adalah:
اَلدَّمُ الْخَارِجُ فِي حَالِ الصِّحَّةِ
مِنْ أَقْصَى رَحْمِ الْمَرْأَةِ مِنْ غَيْرِ وِلَادَةٍ وَلَا مَرَضٍ، فِي أَمَدٍ
مُعَيَّنٍ. وَلَوْنُهُ عَادَةً: اَلسَّوَادُ، وَهُوَ مُحْتَدِمٌ (أَيْ شَدِيْدُ الْحَرَارَةِ)، لَذَاعٌ
مُحْرِقٌ (أَيْ مُوَجِّعٌ مُؤَلِّمٌ)، كَرِيْهُ الرَّائِحَةِ
“Darah yang keluar dalam
keadaan sehat dari rahim perempuan tanpa adanya proses persalinan ataupun sakit,
dalam rentang waktu tertentu. Biasanya warna darahnya hitam, terasa ‘muhtadim’
(sangat panas), sakit seolah membakar, dan berbau tidak sedap”
Jika Wanita Sudah Haid
Islam memang agama yang sempurna. Aspek-aspek
kehidupan manusia dan alam tidak lepas dari tuntunan Islam. Masalah etika,
esetetika, makan dan minum, berpakaian, bersin, menguap, darah wanita, termasuk
darah haid ini, diatur dengan aturan yang lengkap. Ini menandakan Islam agama
yang syumuliyah (komprehensif).
Dalam hal ini, Islam memberi aturan bagi
setiap wanita yang sudah mengalami haid. Aturannya sebagai berikut:
1. Wanita Haid Tidak Boleh Shalat
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ،
وَلَمْ تَصُمْ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا
“Bukankah bila si wanita haid ia tidak
shalat dan tidak pula puasa? Itulah
kekurangan agama si wanita. (H.R. Muttafaqun ‘Alaih [Bukhari
dan Muslim])
2. Dilarang Shaum
مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى
الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ
لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ
فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
“Kenapa
wanita yang haid mengqadha’ shaum dan tidak mengqadha’
shalat?” Maka Aisyah menjawab, “Apakah kamu dari golongan
Haruriyah?” Aku menjawab, “Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.”
Dia menjawab, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk
mengqadha’ shaum dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” (HR.
Muslim)
Berdasarkan
kesepakatan jumhur ulama, wanita yang sedang haid dan nifas tidak wajib shaum dan
wajib mengganti shaum nya di hari-hari selain Ramadhan (qadha) (al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah,
28/ 20-21).
3. Dilarang Jima’ (Bersetubuh)
Berdasarkan
konsensus para ulama, wanita haid dilarang melakukan persetubuhan (jima’).
Dalilnya sebagai berikut:
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي
الْمَحِيضِ
“Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan
diri dari (hubungan intim dengan) wanita di waktu haid.” (Q.S. al-Baqarah
[2]: 222).
Imam
Nawawi berpendapat bahwa “mahidh”
dalam ayat tersebut maknanya bisa darah haid, ada pula yang berpendapat waktu
haid dan juga ada yang mengatakan tempat keluarnya haid yaitu kemaluan.
Adapun
menurut qaul
ulama Syafi’iyah, mahidh
dalam ayat tersebut adalah darah haid.” (al-Majmu’, 2: 343).
4. Dilarang Thawaf
Ketika
Siti Aisyah melaksanakan ibadah haji, Rasulullah saw. bersabda kepadany:
فَافْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ،
غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى
“Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan
orang yang berhaji selain dari melakukan thawaf di Ka’bah hingga engkau suci.”
(H.R.
Bukhari dan Muslim).
Tentang Wanita Haid Menyentuh Mushaf
Dalam perkara ini, ada dua kubu yang ikhtilaf.
Mari kita pelajari istidlal yang dilakukan oleh kubu-kubu tersebut. Kemudian,
kita komparasikan dan kita simpulkan.
Pendapat #1
Wanita Haid atau Orang
Junub Tidak Boleh Menyentuh Mushaf al-Quran
Ulama yang melarang orang junub, termasuk
wanita haid, menyentuh mushaf al-Quran menggunakan dalil sebagai berikut:
لاَيَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنَ
“Tidak
ada yang menyentuhnya (al-Quran) selain hamba-hamba yangt disucikan” (Q.S. al-Waqi’ah [56]:
79).
Selain ayat tersebut, ada pula hadits yang
digunakan sebagai hujjah, yaitu hadits dari Hakim ibnu Hazm. Haditsnya sebagai
berikut:
لَا تَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا وَأَنْتَ طَاهِرٌ
“Janganlah kamu menyentuh
al-Quran kecuali jika kamu suci!” (H.R. Thabrani, Daruquthni, Hakim).
حَدَّثَنِيْ يَحْيَى عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِى
بَكْرٍ بْنِ حَزْمٍ:
أَنَّ فِى الْكِتَابِ الَّذِى كَتَبَهُ رَسُوْلُ اللهِ ص لِعُمَرَو
بْنِ حَزْمٍ أَنْ لاَ يَمَسَّ الْقُرآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ
“Bahwasannya
dalam tulisan yang ditulis oleh Rasulullah saw. untuk Umar ibnu Hazm bahwa
hendaklah ia tidak menyentuh al-Quran kecuali jika dalam keadaan suci”. (Malik: al-Muwatha, 1:
203).
Pendapat #2
Wanita Haid atau Orang
Junub Boleh Menyentuh Mushaf al-Quran
Pendapat yang membolehkan wanita haid dan
orang junub menyentuh mushaf memahami dalil secara apik dari sisi kebahasaan
dan penafsiran para sahabat.
Makna Ayat لاَيَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنَ
Ayat tersebut sedang menceritakan al-Quran di
Lauhul mahfuzh, bukan al-Quran yang sudah terkumpul menjadi mushaf seperti saat
ini. Memahami ayat ini mesti dimulai dari ayat 77 sehingga akan diketahui Quran
yang dibahas pada ayat tersebut Quran yang mana?
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ. فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ. لَا يَمَسُّهُ
إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
77.
Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia
78. Pada
kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh)
79.
Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.
Jadi, ayat tersebut bukan
menjelaskan mushaf al-Quran seperti yang sekarang kita punya, melainkan sedang
menceritakan al-Quran di Lauhul Mahfuzh.
Ibnu Abbas berpendapat
bahwa al-Quran yang dimaksud adalah:
اَلْكِتَابُ الَّذِى فِى السَّمَاءِ
“Kitab
al-Quran yang ada di langit” (ath-Thabari, 27: 118).
Bentuk
Kalimat
Bentuk kalimat dalam ayat
tersebut bukan bentuk nahyi (larangan) tetapi nafi (peniadaan). Artinya,
ayat tersebut bukan bersifat melarang menyentuh al-Quran bagi orang yang tidak
suci.
Makna
Kata الْمُطَهَّرُوْنَ
Kata al-muthahharun
dalam ayat tersebut menurut Ibnu Abbas adalah al-malaikah, para
malaikat. Pendapat ini sangat logis karena al-Quran yang dimaksud adalah
al-Quran di Lauhul Mahfuzh. Dalam Tafsir ath-Thabari pun dikatakan bahwa yang
dimaksud al-muthahharun yaitu para malaikat yang ada di langit.
Makna طَاهِرٌ dalam Hadits Hakim ibnu Hazm
Kata Thahir dalam
hadits Hakim ibnu Hazm sebagaimana ditulis di muka, merupakan lafad musytarak (satu
kata yang bermakna ganda) yang maknanya mutlak bisa suci dari hadats besar, bisa pula suci
dari hadats kecil, bisa pula maknanya orang beriman, dan bisa pula orang yang
badannya tidak terkena kotoron.
Karena maknanya banyak, untuk menetapkan makna
طَاهِرٌ perlu adanya karinah
terlebih dahulu (Fiqhus-Sunnah, 1; 99).
Dalam Tafsir al-Qasimi dijelaskan:
وَالَّذِى يَتَرَجَّحُ أَنَّ الْمُشْتَرَكَ مُجْمَلٌ فِيْهَا فَلاَ
يَعْمَلُ بِهِ حَتَّى يُبَيَّنُ
“Dan yang kuat adalah
lafad musytarak yang mujmal (belum ada penjelasan kekhususan) tidak diamalkan
sehingga dijelaskan terlebih dahulu”.
Penjelasan
Hadits Hakim ibnu Hazm
Hadits yang berbunyi:
لَا تَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا وَأَنْتَ طَاهِرٌ
diriwayatkan oleh penyusun
(kitab) dan Syaikh Abu Hamid dari Hakim ibnu Hazm. Dan yang dikenal dalam kitab
Hadits dan Fiqih bahwa hadits tersebut sebenarnya dari Umar ibnu Hazm. Hadits
tersebut sanadnya dha’if (al-Majmu’, 2: 66).
Imam an-Nawawi dan Ibnu Katsir dan Ibnu Hazm
mendha’ifkan hadits Hakim ibnu Hazm dan hadits Umar ibnu Hazm (Nailul Authar,
1: 243). Dan, Imam Malik meriwayatkan hadits tersebut secara mursal
dalam al-Muwatha.
Ad-Daruquthni telah mensanadkannya dari Umar
ibnu Hazm, Abdullah ibnu Umar, dan Utsman ibnu Abi ‘Ashim. Seluruh sanadnya
perlu ada penelitian (Ibnu Katsir, 4: 298).
Al-Hakim meriwayatkan dalam kitab al-Mustadrak,
al-Baihaqi dalam al-Khilafiyat dan Thabrani pun meriwayatkannya. Namun di dalam
sanadnya ada Suwaid ibnu Abi Hatim. Suwaid ibnu Abi Hatim adalah rawi yang
dha’if (Nailul Authar).
Pendapat Ibnu Abbas
Ibnu Abbas, asy-Sya’bi, adh-Dhahak, Zaid ibnu
Ali, dan Muayyad Billah, Dawud, Ibnu Hazm, dan Hammad ibnu Abi Sulaiman,
berpendapat bahwa yang memiliki hadats kecil untuk memegang mushaf. Adapun
membaca al-Quran tanpa memegang mushaf dibolehkasn dengan konsensus
(kesepakatan).
Kesimpulan Sementara
Mushaf al-Quran baru dikodifikasi secara rapi
dan lengkap pada jaman Utsman ibnu Affan. Sedangkan hadits dha’if yang melarang
menyentuh al-Quran adalah pada jaman Rasulullah yang pada saat itu al-Quran
masih dalam pelepah, batu, dan lain-lain.
Dengan begitu, bisakah ayat Quran yang ditulis
pada batu, kulit unta, pelepah kurma disebut mushaf secara mutlak? Wallahu
a’lam.
Merujuk kepada penjelasan-penjelasan di atas,
saya lebih condong kepada pemahaman yang kedua bahwa wanita haid atau orang
yang junub boleh memegang mushaf al-Quran.
Alasannya:
1.
Hadits yang digunakan
adalah hadits dha’if
2.
Ayat yang dimaksud bukan bersifat
melarang, tetapi khabar al-Quran pada Lauhul Mahfuzh, bukan al-Quran yang sekarang.
3.
Orang yang suci yang
dipahami adalah para malaikat. Bentuk katanya menggunakan isim maf’ul, berarti
yang disucikan. Ini siapa? Yang jelas adalah, malaikat.
4.
Adapun kata thahirun sebagaimana
dalam hadits, maknanya ganda. Perlu ada karinah, apakah thahirun yang
dimaksud itu suci dari hadats, suci dari kotoran dan najis ataukah muslim?
Wallāhu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar
Mari meraih kebaikan dengan berbagi. Tinggalkan komentarmu kawan...