Minggu, 04 November 2012

Bolehkah Wanita Haid Membaca dan Memegang Mushaf Quran?



Hukum Membaca al-Quran
Membaca al-Quran merupakan kewajiban setiap muslim. Ini bisa dilihat dari amr-amr (perintah) membaca Quran dalam al-Quran dan Hadits Rasulullahs saw.. Salah satu hadits yang menujukkan wajib membaca al-Quran adalah sebagai berikut:
اقْرَؤُوا القُرْآنَ ؛ فَإنَّهُ يَأتِي يَوْمَ القِيَامَةِ شَفِيعاً لأَصْحَابِهِ
“Bacalah oleh kalian al-Quran, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat sebagai pembawa syafaat bagi para sahabatnya” (H.R. Muslim).

Fadilah Membaca al-Quran
Untuk mengatahui fadilah membaca al-Quran silahkan klik di sini


Tentang Haid

Arti Haid
Secara etimologi, haid berasal dari bahasa Arab yakni dari kata حَاضَ – يَحِيْضُ - حَيْضًا  yang arti asalnya adalah اَلسِّيْلاَنُ (mengalir).

Adapun secara terminologi atau syara’, haid adalah:
اَلدَّمُ الْخَارِجُ فِي حَالِ الصِّحَّةِ مِنْ أَقْصَى رَحْمِ الْمَرْأَةِ مِنْ غَيْرِ وِلَادَةٍ وَلَا مَرَضٍ، فِي أَمَدٍ مُعَيَّنٍ. وَلَوْنُهُ عَادَةً:  اَلسَّوَادُ، وَهُوَ مُحْتَدِمٌ (أَيْ شَدِيْدُ الْحَرَارَةِ)، لَذَاعٌ مُحْرِقٌ (أَيْ مُوَجِّعٌ مُؤَلِّمٌ)، كَرِيْهُ الرَّائِحَةِ
“Darah yang keluar dalam keadaan sehat dari rahim perempuan tanpa adanya proses persalinan ataupun sakit, dalam rentang waktu tertentu. Biasanya warna darahnya hitam, terasa ‘muhtadim’ (sangat panas), sakit seolah membakar, dan berbau tidak sedap”

Jika Wanita Sudah Haid
Islam memang agama yang sempurna. Aspek-aspek kehidupan manusia dan alam tidak lepas dari tuntunan Islam. Masalah etika, esetetika, makan dan minum, berpakaian, bersin, menguap, darah wanita, termasuk darah haid ini, diatur dengan aturan yang lengkap. Ini menandakan Islam agama yang syumuliyah (komprehensif).

Dalam hal ini, Islam memberi aturan bagi setiap wanita yang sudah mengalami haid. Aturannya sebagai berikut:

1. Wanita Haid Tidak Boleh Shalat
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ، وَلَمْ تَصُمْ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا
Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa? Itulah kekurangan agama si wanita. (H.R. Muttafaqun ‘Alaih [Bukhari dan Muslim])

2. Dilarang Shaum
مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
Kenapa wanita yang haid mengqadha’ shaum dan tidak mengqadha’ shalat?” Maka Aisyah menjawab, “Apakah kamu dari golongan Haruriyah?” Aku menjawab, “Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.” Dia menjawab, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ shaum dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” (HR. Muslim)

Berdasarkan kesepakatan jumhur ulama, wanita yang sedang haid dan nifas tidak wajib shaum dan wajib mengganti shaum nya di hari-hari selain Ramadhan (qadha) (al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah, 28/ 20-21).

3. Dilarang Jima’ (Bersetubuh)
Berdasarkan konsensus para ulama, wanita haid dilarang melakukan persetubuhan (jima’). Dalilnya sebagai berikut:
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari (hubungan intim dengan) wanita di waktu haid.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 222).

Imam Nawawi berpendapat bahwa “mahidh” dalam ayat tersebut maknanya bisa darah haid, ada pula yang berpendapat waktu haid dan juga ada yang mengatakan tempat keluarnya haid yaitu kemaluan.

Adapun menurut qaul ulama Syafi’iyah, mahidh dalam ayat tersebut adalah darah haid.” (al-Majmu’, 2: 343).

4. Dilarang Thawaf
Ketika Siti Aisyah melaksanakan ibadah haji, Rasulullah saw. bersabda kepadany:
فَافْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى
Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan orang yang berhaji selain dari melakukan thawaf di Ka’bah hingga engkau suci.”  (H.R. Bukhari dan Muslim).

Tentang Wanita Haid Menyentuh Mushaf
Dalam perkara ini, ada dua kubu yang ikhtilaf. Mari kita pelajari istidlal yang dilakukan oleh kubu-kubu tersebut. Kemudian, kita komparasikan dan kita simpulkan.

Pendapat #1
Wanita Haid atau Orang Junub Tidak Boleh Menyentuh Mushaf al-Quran
Ulama yang melarang orang junub, termasuk wanita haid, menyentuh mushaf al-Quran menggunakan dalil sebagai berikut:
لاَيَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنَ
“Tidak ada yang menyentuhnya (al-Quran) selain hamba-hamba yangt disucikan” (Q.S. al-Waqi’ah [56]: 79).

Selain ayat tersebut, ada pula hadits yang digunakan sebagai hujjah, yaitu hadits dari Hakim ibnu Hazm. Haditsnya sebagai berikut:
لَا تَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا وَأَنْتَ طَاهِرٌ
“Janganlah kamu menyentuh al-Quran kecuali jika kamu suci!” (H.R. Thabrani, Daruquthni, Hakim).
حَدَّثَنِيْ يَحْيَى عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِى بَكْرٍ بْنِ حَزْمٍ:
أَنَّ فِى الْكِتَابِ الَّذِى كَتَبَهُ رَسُوْلُ اللهِ ص لِعُمَرَو بْنِ حَزْمٍ أَنْ لاَ يَمَسَّ الْقُرآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ
“Bahwasannya dalam tulisan yang ditulis oleh Rasulullah saw. untuk Umar ibnu Hazm bahwa hendaklah ia tidak menyentuh al-Quran kecuali jika dalam keadaan suci”. (Malik: al-Muwatha, 1: 203).

Pendapat #2
Wanita Haid atau Orang Junub Boleh Menyentuh Mushaf al-Quran
Pendapat yang membolehkan wanita haid dan orang junub menyentuh mushaf memahami dalil secara apik dari sisi kebahasaan dan penafsiran para sahabat.

Makna Ayat لاَيَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنَ
Ayat tersebut sedang menceritakan al-Quran di Lauhul mahfuzh, bukan al-Quran yang sudah terkumpul menjadi mushaf seperti saat ini. Memahami ayat ini mesti dimulai dari ayat 77 sehingga akan diketahui Quran yang dibahas pada ayat tersebut Quran yang mana?
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ. فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ. لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
77. Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia
78. Pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh)
79. Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.

Jadi, ayat tersebut bukan menjelaskan mushaf al-Quran seperti yang sekarang kita punya, melainkan sedang menceritakan al-Quran di Lauhul Mahfuzh.

Ibnu Abbas berpendapat bahwa al-Quran yang dimaksud adalah:
اَلْكِتَابُ الَّذِى فِى السَّمَاءِ
“Kitab al-Quran yang ada di langit” (ath-Thabari, 27: 118).

Bentuk Kalimat
Bentuk kalimat dalam ayat tersebut bukan bentuk nahyi (larangan) tetapi nafi (peniadaan). Artinya, ayat tersebut bukan bersifat melarang menyentuh al-Quran bagi orang yang tidak suci.

Makna Kata الْمُطَهَّرُوْنَ
Kata al-muthahharun dalam ayat tersebut menurut Ibnu Abbas adalah al-malaikah, para malaikat. Pendapat ini sangat logis karena al-Quran yang dimaksud adalah al-Quran di Lauhul Mahfuzh. Dalam Tafsir ath-Thabari pun dikatakan bahwa yang dimaksud al-muthahharun yaitu para malaikat yang ada di langit.

Makna طَاهِرٌ dalam Hadits Hakim ibnu Hazm
Kata Thahir dalam hadits Hakim ibnu Hazm sebagaimana ditulis di muka, merupakan lafad musytarak (satu kata yang bermakna ganda) yang maknanya mutlak bisa suci dari hadats besar, bisa pula suci dari hadats kecil, bisa pula maknanya orang beriman, dan bisa pula orang yang badannya tidak terkena kotoron.

Karena maknanya banyak, untuk menetapkan makna طَاهِرٌ perlu adanya karinah terlebih dahulu (Fiqhus-Sunnah, 1; 99).

Dalam Tafsir al-Qasimi dijelaskan:
وَالَّذِى يَتَرَجَّحُ أَنَّ الْمُشْتَرَكَ مُجْمَلٌ فِيْهَا فَلاَ يَعْمَلُ بِهِ حَتَّى يُبَيَّنُ
“Dan yang kuat adalah lafad musytarak yang mujmal (belum ada penjelasan kekhususan) tidak diamalkan sehingga dijelaskan terlebih dahulu”.

Penjelasan Hadits Hakim ibnu Hazm
Hadits yang berbunyi:
لَا تَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا وَأَنْتَ طَاهِرٌ
diriwayatkan oleh penyusun (kitab) dan Syaikh Abu Hamid dari Hakim ibnu Hazm. Dan yang dikenal dalam kitab Hadits dan Fiqih bahwa hadits tersebut sebenarnya dari Umar ibnu Hazm. Hadits tersebut sanadnya dha’if (al-Majmu’, 2: 66).

Imam an-Nawawi dan Ibnu Katsir dan Ibnu Hazm mendha’ifkan hadits Hakim ibnu Hazm dan hadits Umar ibnu Hazm (Nailul Authar, 1: 243). Dan, Imam Malik meriwayatkan hadits tersebut secara mursal dalam al-Muwatha.

Ad-Daruquthni telah mensanadkannya dari Umar ibnu Hazm, Abdullah ibnu Umar, dan Utsman ibnu Abi ‘Ashim. Seluruh sanadnya perlu ada penelitian (Ibnu Katsir, 4: 298).

Al-Hakim meriwayatkan dalam kitab al-Mustadrak, al-Baihaqi dalam al-Khilafiyat dan Thabrani pun meriwayatkannya. Namun di dalam sanadnya ada Suwaid ibnu Abi Hatim. Suwaid ibnu Abi Hatim adalah rawi yang dha’if (Nailul Authar).

Pendapat Ibnu Abbas
Ibnu Abbas, asy-Sya’bi, adh-Dhahak, Zaid ibnu Ali, dan Muayyad Billah, Dawud, Ibnu Hazm, dan Hammad ibnu Abi Sulaiman, berpendapat bahwa yang memiliki hadats kecil untuk memegang mushaf. Adapun membaca al-Quran tanpa memegang mushaf dibolehkasn dengan konsensus (kesepakatan).

Kesimpulan Sementara
Mushaf al-Quran baru dikodifikasi secara rapi dan lengkap pada jaman Utsman ibnu Affan. Sedangkan hadits dha’if yang melarang menyentuh al-Quran adalah pada jaman Rasulullah yang pada saat itu al-Quran masih dalam pelepah, batu, dan lain-lain.

Dengan begitu, bisakah ayat Quran yang ditulis pada batu, kulit unta, pelepah kurma disebut mushaf secara mutlak? Wallahu a’lam.

Merujuk kepada penjelasan-penjelasan di atas, saya lebih condong kepada pemahaman yang kedua bahwa wanita haid atau orang yang junub boleh memegang mushaf al-Quran.

Alasannya:
1.       Hadits yang digunakan adalah hadits dha’if
2.      Ayat yang dimaksud bukan bersifat melarang, tetapi khabar al-Quran pada Lauhul Mahfuzh, bukan al-Quran yang sekarang.
3.      Orang yang suci yang dipahami adalah para malaikat. Bentuk katanya menggunakan isim maf’ul, berarti yang disucikan. Ini siapa? Yang jelas adalah, malaikat.
4.      Adapun kata thahirun sebagaimana dalam hadits, maknanya ganda. Perlu ada karinah, apakah thahirun yang dimaksud itu suci dari hadats, suci dari kotoran dan najis ataukah muslim?

Wallāhu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar

Mari meraih kebaikan dengan berbagi. Tinggalkan komentarmu kawan...