Mendidik
merupakan pekerjaan yang memerlukan skill, hati, pikiran dan sabar. Karena,
mendidik itu bukanlah membuat anak mendadak baik. Perlu proses. Dan, proses ini
akan bisa ditempuh jika para pendidik ber-skill (kompetensi) baik,
melibatkan hati dan pikiran, dan sabar dalam menempuhnya.
Pertama, masalah skill. Mendidik itu
perlu seni. Mendidik dengan seni mampu lebih baik daripada mendidik flat,
tanpa seni. Oleh karena itu, para pendidik, wa bil khushus para guru di
sekolah, hendaklah terus mengasah gaya mendidik yang baik dan cocok (skill,
kompetensi) bagi anak-anak dengan ragam gaya belajar masing-masing. Menyesuaikan
gaya mendidik dengan gaya belajar anak merupakan salah satu faktor pendorong kemajuan
peserta didik.
Jika
anak-anak dominan di otak kanan, suka seni, suka lagi, suka menggambar, maka
guru dengan style ngajar yang nyeni membuat pembelajaran lebih hidup
ketimbang yang ngajarnya flat-flat saja. Jika anak-anak suka
petualangan, sosial yang tinggi, bergumul dengan lingkungan, maka mendidik
dengan gaya eksplorasi, metode wisata, lebih membuat pembelajaran semakin
meriah bagi anak.
Kedua, masalah hati dan pikiran. Guru atau
tepatnya pendidik adalah manusia yang mengajar manusia. Sebagai manusia anak
tentunya memiliki rasa dan pikir. Maka, guru yang hebat akan mendekati wilayah
rasa dan pikir anak sehingga anak termotivasi untuk giat belajar.
Dalam
hal ini, seorang pendidik dilarang menjustifikasi negative terhadap anak
didiknya. Ketika ada seorang siswa selalu saja mendapatkan nilai di bawah KKM (Kriteria
Ketuntasan Minimal), sebuah nilai standar lulus dan tuntasnya siswa belajar,
guru hedanknya tidak mengatakan, “Kamu ini bodoh. Nilaimu kok buruk terus. Tuh lihat
yang lain bagus-bagus nilainya!”. Artinya, tidak ada statement guru yang
negatif terhadap anak didiknya. Statement negatif tidak akan membat anak didik
lebih baik. Yang ada adalah si anak akan mengakui dirinya sendiri adalah orang
bodoh. Ini bahaya bagi psikologis anak. Hilang motivasi. Hilang asa.
Guru
atau pendidik tidak usah pusing jika ada anak yang nilai ulangannya buruk,
padahal sudah berulang kali ia dididik intensif. Sudah lah tidak usah fokus pada
hasil belajar pada ranah kognitif. Masih banyak kecerdasan anak yang perlu
digali. Kecerdasan-kecerdasan tersebut bisa diistilahkan Kecerdasan Multi alias
Multiple Intelligence yang digagas oleh Howard Garner.
Jika
guru atau pendidik keukeuh menyatakan bodoh terhadap anak yang prestasi
akademiknya buruk, maka guru ini sedang tidak menjunjung nilai keadilan. Bodoh itu
banyak macamnya. Bodoh itu bukan hanya di ranah kognitif. Jika anak disebut
bodoh padahal anak masih memiliki kelebihan dan kecerdasan lain, maka guru
tidak adil.
Sekali
lagi, kognitif hanya sebagian kecil dari kecerasan manusia. Terlalu buru-buru
jika guru menyatakan bodoh terhadap anak hanya gara-gara nilai raport-nya
di bawah rata-rata. Bagusnya, tengok dulu apa saja kecerdasan yang dimiliki
anak yang “bodoh” ini. Saya yakin, masih ada kans bahwa anak ini cerdas di
bidang lain. Thomas Alfa Edison merupakan salah satu contoh anak “bodoh” berprestasi.
Maka,
mendidik itu memerlukan hati dan pikiran yang positif. Positiflah memandang
peserta didik. Positiflah dalam merespon segala hasil belajar anak. Kemudian,
tetapkan tindakan yang tepat untuk merubah atau meningkatkan hasil belajarnya. Itu
lebh muia bagi guru.
Ketiga, masalah sabar. Menurut para ulama sabar
itu ada tiga, yakni sabar dalam taat, sabar dalam meninggalkan maksiat, dan sabar
dalam menghadapi musibah. Bagi guru, ketiga kesabaran ini harus benar-benar
diinternalisasikan di dalam diri.
Sabar
dalam taat berarti sabar dalam menjalan seluruh tugas dan kewajiban guru dari
mulai administrasi guru, pelaksanaan sampai evaluasi dan tindakan. Menyusun lesson
plan atau Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) merupakan sesuatu yang
tidak mudah, tetapi akan menjadi mudah jika bersabar membiasakannya. Memilih dan
menggunakan style ngajar itu juga tidak mudah, tetapi akan menjadi mudah
jika guru bereksplorasi diri dan siap melakukan improvisasi.
Sabar
dalam meninggalkan maksiat berarti guru tidak berkeluh kesah menghadapi segala
problem pembelajaran. Guru tidak melakukan hal-hal negatif dalam pembelajaran. Guru
tidak melabeli anak dengan label negatif. Guru tidak memberikan punishment yang
tidak mendidik. Secara global, guru tidak melakukan hal-hal yang tidak pantas
dilakukan. Bersabar itu membuat hati plong yang mudah-mudah rezeki pun menjadi
plong.
Sabar
dalam menghadapi musibah berarti guru mesti sabar ketika apa yang diinginkannya
tidak 100 % terwujud. Guru tentunya ingin anak-anak menjadi orang yang baik, cerdas,
dan saleh. Tetapi ketika ada anak yang membandel, berbuat anarkis, mengacau
saat PBM, maka guru harus bersabar menghadapinya. Guru pun pasti ingin
mendapatkan penghasilan yang cukup untuk memenuhi hajat hidup, tetapi apalah
daya tangan tak sampai, guru mesti sabar ketika honor yang didapatnya hanya
cukup untuk kebutuhan satu minggu saja.
Saya
merasa miris dan iba ketika ada seorang ibu guru, pulang ngajar langsung kerja
jadi tukang cuci piring. Ada pula sang Kepsek di sebuah sekolah yang berprofesi
sampingan sebagai pemulung sampah. Saya berharap, ibu guru dan pak Kepsek bisa
bersabar, dan tentunya semoga Allah memberikan kecukupan rezeki untuk ereka
berdua dan siapa pun guru yang semisal mereka.
Bravo
Pendidik dan Pendidikan…!!!
0 komentar:
Posting Komentar
Mari meraih kebaikan dengan berbagi. Tinggalkan komentarmu kawan...