oleh: Amin Saefullah Muchtar
Sebagaimana
telah kita maklumi bahwa pada bulan Dzulhijjah bagi kaum muslimin yang tidak
sedang melaksanakan ibadah haji disyariatkan melaksanakan shaum pada tanggal 9
Dzulhijjah yang dikenal dengan sebutan shaum Arafah, sebagaimana diterangkan
dalam hadis sebagai berikut:
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ : قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ
سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبِلَةً ، وَصَوْمُ عَاشُوراَءَ يُكَفِّرُ سَنَةً
مَاضِيَةً . - رواه
الجماعة إلا البخاري والترمذي -
“Dari
Abu Qatadah, ia berkata,”Rasulullah saw. telah bersabda,’Shaum Hari Arafah itu
akan mengkifarati (menghapus dosa) dua tahun, yaitu setahun yang telah lalu dan
setahun kemudian. Sedangkan shaum Asyura akan mengkifarati setahun yang lalu”. (H.R. Al-Jama’ah kecuali Al-Bukhari dan
at-Tirmidzi).
Selain
dengan sebutan shaum Arafah, shaum ini disebut pula dengan beberapa sebutan
lain, yaitu:
1.
Tis’a Dzilhijjah (9 Dzulhijjah)
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ
وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ– رواه أبو داود وأحمد والبيهقي -
“Dari
sebagian istri Nabi saw., ia berkata, “Rasulullah saw. shaum tis’a Dzilhijjah,
hari Asyura, tiga hari setiap bulan” (H.R.
Abu Daud, Sunan Abu Dawud, Juz VI:418, No. 2081; Ahmad, Musnad Ahmad,
45:311, No. 21302, 53:424. No. 25263, dan al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra,
IV:285, Syu’abul Iman, VIII:268)
Dalam
hadis ini disebut dengan lafal Tis’a Dzilhijjah, yang berarti tanggal 9
Dzulhijjah. Hadis ini memberikan batasan miqat zamani (ketentuan waktu
pelaksanaan) shaum ini, yaitu pada tanggal 9 Dzulhijjah.
2.
Shaum al-‘Asyru
عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ : أَرْبَعٌ
لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَ العَشْرَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَ
الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ اْلغَدَاةِ - رواه أحمد و النسائي -
“Dari
Hafshah, ia berkata,” Empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan oleh
Rasulullah saw.: shaum Asyura, shaum arafah, shaum tiga hari setiap bulan dan
dua rakaat qabla subuh.”.
(H.R. Ahmad, al-Musnad, X : 167. No. 26521 dan an-Nasai, Sunan an-Nasai, II :
238).
Kata
al-‘Asyru secara umum menunjukkan jumlah 10 hari. Berdasarkan makna umum
itu, maka dapat dipahami dari hadis tersebut bahwa Rasul tidak pernah
meninggalkan shaum 10 hari bulan Dzulhijjah. Namun pemahaman itu jelas
bertentangan dengan ketetapan Nabi sendiri yang melarang shaum pada hari Iedul
Adha (10 Dzulhijjah) (Hr. An-Nasai, as-Sunan al-Kubra, II:150)
Demikian
pula bila diartikan 9 hari pertama (dari tanggal 1-9) Dzulhijjah, hemat kami
tidak tepat dilihat dari makna Al-‘Asyr itu sendiri.
Hemat
kami kata al-Asyru pada hadis ini sama maksudnya dengan Tis’a
Dzilhijjah pada hadis di atas. Adapun penamaan shaum tanggal 9 Dzulhijjah
dengan al-‘Asyru, karena hari pelaksanaan shaum tersebut termasuk pada
hari-hari al-‘Asyru (10 hari bulan Dzulhijjah) yang agung sebagaimana
dinyatakan Rasul dalam hadis sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ
الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ
فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ فَقَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ
إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
Dari
Ibnu Abbas, bahwasanya ia berkata, ‘Rasulullah saw. Bersabda, ‘Tidak ada dalam
hari-hari yang amal shalih padanya lebih dicintai Allah daripada hari-hari yang
sepuluh ini. Para sahabat bertanya, ‘(apakah) jihad fi Sabilillah juga tidak
termasuk? Rasul menjawab, ‘Tidak, kecuali seseorang yang berkorban dengan
jiwanya dan hartanya kemudian dia tidak mengharapkan apa-apa darinya.’ (H.R. At-Tirmidzi, Tuhfah
al-Ahwadzi, III: 463).
Selain
itu penamaan tersebut menunjukkan bahwa hari ‘Arafah itu hari yang paling agung
di antara hari-hari yang sepuluh itu, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi saw.
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ
يَعْتِقَ اللهُ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو
ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمُ المَلاَئِكَةُ فَيَقُولُ : مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ؟
“Tiada
hari yang Allah lebih banyak membebaskan hamba-Nya dari neraka melebihi
hari Arafah, dan bahwa Ia dekat. Kemudian malaikat merasa bangga dengan
mereka, mereka (malaikat) berkata, ‘Duhai apakah gerangan yang diinginkan
mereka?’.” (H.R. Muslim, Shahih
Muslim, I : 472)
Berbagai
keterangan di atas menunjukkan bahwa penamaan shaum itu dengan yaum Arafah, Tis’a
Dzilhijjah, dan al-Asyru menunjukkan bahwa pelaksanaan shaum
tersebut terikat oleh miqat zamani, yakni tanggal 9 Dzulhijjah (hanya 1 hari).
Catatan:
Tahun
ini, insya Allah iedul Adha akan jatuh pada hari Jumat 10 Dzulhijjah 1433 H/26
Oktober 2012. Jadi Shaum Arafah jatuh pada hari Kamis (besok) 9 Dzulhijjah 1433
H/25 Oktober 2012
Pertanyaan:
Bukankah
pada hadis-hadis lain diterangkan bahwa shaum itu bukan hanya 9 Dzulhijjah?
Jawaban:
Benar
kami temukan sekitar lima hadis yang menunjukkan bahwa shaum di bulan
Dzulhijjah itu bukan hanya shaum Arafah, namun hadis-hadis itu dhaif bahkan
palsu sebagai berikut:
a.
Tanggal 1 dan 9 Dzulhijjah
فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ ذِي
الْحِجِّةِ وُلِدَ إِبْرَاهِيمُ : فَمَنْ صَامَ ذلِكَ اليَوْمَ كَانَ كَفَّارَةُ
سِتِّينَ سَنَةً
“Pada
malam awal bulan Dzulhijah itu dilahirkan Nabi Ibrahim, maka siapa yang shaum
pada siang harinya, hal itu merupakan kifarat dosa selama enam puluh tahun” (Lihat Tadzkirrah al-Maudhu’at, hal.
119!)
Dalam
riwayat lain dengan redaksi:
فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ ذِي
الْحِجِّةِ وُلِدَ إِبْرَاهِيمُ : فَمَنْ صَامَ ذلِكَ اليَوْمَ كَانَ كَفَّارَةُ
ثَمَانِيْنَ سَنَةً - وَفِي رِوَايَةٍ - سَبْعِيْنَ سَنَةً وَفِي تِسْعٍ مِنْ ذِي
الْحِجَّةِ أَنْزَلَ اللهُ تَوْبَةَ دَاوُدَ فَمَنْ صَامَ ذلِكَ اليَوْمَ كَانَ
كَفَّارَةُ سِتِّينَ سَنَةً - وَفِي رِوَايَةٍ - غَفَرَ اللهُ لَهُ كَمَا غَفَرَ ذَنْبَ
دَاوُدَ
“Pada
malam awal bulan Dzulhijah itu dilahirkan Nabi Ibrahim, maka siapa yang shaum
pada hari itu, hal itu merupakan kifarat dosa selama delapan puluh tahun. Dan
pada suatu riwayat tujuh puluh tahun. Dan pada 9 Dzulhijjah Allah menurunkan
taubat Nabi Daud, maka siapa yang shaum pada hari itu, hal itu merupakan
kifarat dosa selama enam puluh tahun” Dan pada suatu riwayat: “Allah
mengampuninya sebagaimana Dia mengampuni dosa Nabi Daud” (H.R. ad-Dailami, al-Firdaus bi Ma’tsur
al-Khitab, III:142, hadis No. 4381, II:21 No. 2136, IV:386, No. 7122; Lihat
pula Tanzih as-Syari’ah, II:165 No. 50; Maushu’ah al-Ahadits wal Atsar
ad-Dha’ifah wal Maudhu’ah, VI:235 No. 14.953).
Keterangan:
Hadis-hadis
di atas dengan berbagai variasi redaksinya adalah maudhu (palsu) karena
diriwayatkan oleh seorang pendusta bernama Muhamad bin Sahl. (Lihat
Tadzkirrah al-Maudhu’at, hal. 119!)
b.
Selama 10 hari pertama
مَا مِنْ أَيَّامٍ أَحَبُّ إِلَى
اللَّهِ أَنْ يُتَعَبَّدَ لَهُ فِيهَا مِنْ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ ، يَعْدِلُ
صِيَامُ كُلِّ يَوْمٍ مِنْهَا بِصِيَامِ سَنَةٍ ، وَقِيَامُ كُلِّ لَيْلَةٍ
مِنْهَا بِقِيَامِ لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Tidak
ada hari yang lebih dicintai Allah untuk beribadah padanya daripada 10 hari
Dzulhijjah. Saum setiap hari padanya sebanding dengan shaum setahun. Dan
qiyamul lail setiap malam padanya sebanding dengan qiyam lailatul qadr”. (Lihat Sunan at-Tirmidzi,
III:131; Syarh as-Sunnah, II:292).
Dalam
kitab al-‘Ilal al-Mutanahiyah, II:563, Hadis No. 925, dengan redaksi:
مَا مِنْ أَيَّامٍ أَحَبُّ إِلَى
اللهِ أَنْ يُتَعَبَّدَ لَهُ فِيْهَا مِنْ عَشْرَةَ ذِي الْحِجَّةِ يُعَدُّ
صِيَامُ كُلِّ يَوْمٍ مِنْهَا بِصِيَامِ سَنَةٍ وَقِيَامُ لَيْلَةٍ مِنْهَا
بِقِيَامِ لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Keterangan:
Imam
at-Tirmidzi berkata, “Saya bertanya kepada Muhamad (al-Bukhari) tentang hadis
ini, maka beliau tidak mengetahuinya selain dari jalur ini” Yahya bin Sa’id
al-Qathan telah memperbincangkan Nahas bin Qahm dari aspek hapalannya. (Lihat,
Sunan at-Tirmidzi, III:131).
Hadis
tersebut dhaif karena pada sanadnya terdapat dua rawi yang dhaif:
Pertama,
Mas’ud bin Washil. Kata ad-Daraquthni, “Abu Daud at-Thayalisi menyatakan
bahwa ia daif” (Lihat, Ilal ad-Daraquthni, IX:200). Kata Ibnu Hajar, “Layyin
al-Hadits” (Lihat, Tahdzib at-Tahdzib, X:109; Taqrib at-Tahdzib, hal. 528)
Kedua,
Nahhas bin Qahm. Kata Ibnu Hiban, “Dia meriwayatkan hadis munkar dari
orang-orang populer, menyalahi periwayatan para rawi tsiqat, tidak boleh
dipakai hujjah” (Lihat, Tahdzib al-Kamal, XXX:28) Kata Ibnu Hajar, “dha’if”
(Lihat, Taqrib at-Tahdzib, hal. 566)
صِيَامُ أَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ
الْعَشْرِ يَعْدِلُ مِائَةَ سَنَةٍ وَالْيَوْمِ الثَّانِي يَعْدِلُ مِائَتَي
سَنَةٍ فَإِنْ كَانَ يَوْمَ التَّرْوِيَةِ يَعْدِلُ أَلْفَ عَامٍ وَصِيَامُ يَوْمَ
عَرَفَةَ يَعْدِلُ أَلْفَي عَامٍ
“Shaum
hari pertama dari 10 hari (Dzulhijjah) sebanding dengan 100 tahun. Hari kedua
sebanding dengan 200 tahun, jika hari Tarwiyyah (8 Dzulhijjah) sebanding dengan
1000 tahun, dan shaum hari Arafah (9 Dzulhijjah) sebanding dengan 2000 tahun” (H.R. ad-Dailami, al-Firdaus bi
Ma’tsur al-Khitab, II:396, hadis No. 3755).
Keterangan:
Hadis
ini dhaif, bahkan maudhu’ (palsu) karena pada sanadnya terdapat rawi Muhamad
bin Umar al-Muharram. Kata Abu Hatim, “Dia pemalsu hadis” (Lihat
ad-Dhu’afa wal Matrukin, III: 96!). Kata Ibn al-Jauzi, “Dia manusia paling
dusta” (Lihat al-Maudhu’at, II: 198!)
c. Tanggal
18 Dzulhijjah
مَنْ صَامَ يَوْمَ ثَمَانِيَّةَ
عَشَرَ مِنْ ذِيْ الْحِجَّةِ كَتَبَ اللهُ لَهُ صِيَامَ سِتِّيْنَ شَهْرًا
“Siapa
yang shaum hari ke-18 Dzulhijjah, Allah pasti mencatat baginya (pahala) shaum
60 bulan” (Lihat Kasyf
al-Khifa wa Muzil al-Ilbas, II:258, hadis No. 2520; al-‘Ilal
al-Mutanahiyah, I:226, No. 356; al-Abathil wal Manakir, II:302, No.
714!)
Keterangan:
Hadis
ini dhaif, bahkan maudhu’ (palsu). Kata Imam ad-Dzahabi, “ini hadis sangat
munkar, bahkan palsu” (Lihat Kasyf al-Khifa wa Muzil al-Ilbas, II:
258!)
d.
Hari Terakhir Bulan Dzulhijjah dan Hari Pertama Muharram
مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي
الْحِجَّةِ وَأَوَّلَ يَوْمٍ مِنَ الْمُحَرَّمِ فَقَدْ خَتَمَ السَّنَةَ
الْمَاضِيَةَ بِصَوْمٍ وَافْتَتَحَ السَّنَةَ الْمُسْتَقْبِلَةَ بِصَوْمٍ فَقَدْ
جَعَلَ اللهُ لَهُ كَفَّارَةَ خَمْسِينَ سَنَةً.
“Siapa
yang shaum pada hari terakhir bulan Dzulhijah dan hari pertama bulan Muharam,
maka ia telah menutup tahun lalu dengan shaum dan membuka tahun yang datang
dengan shaum. Sungguh Allah telah menjadikan kifarat dosa selama lima puluh
tahun baginya” (Lihat
al-Laali al-Mashnu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah, II:92; al-Maudhu’at, II:199;
Tadzkirrah al-Maudhu’at, hal. 118; Tanzih as-Syari’ah, II:176!).
Dalam
kitab al-Fawaid al-Majmu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah, hal. 96, No. 31 dengan
sedikit perbedaan redaksi pada akhir hadits:
فَقَدْ جَعَلَهُ اللهُ كَفَّارَةَ
خَمْسِينَ سَنَةً
Keterangan:
Hadis
ini dhaif, bahkan maudhu’ (palsu). Pada sanadnya terdapat dua rawi pendusta,
yaitu Ahmad bin Abdullah al-Harawi dan Wahb bin Wahb. Kata Imam as-Suyuthi,
“keduanya pendusta” (Lihat al-Laali al-Mashnu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah,
II: 92!) Kata Imam Ibn al-Jauzi, “Keduanya pendusta dan pemalsu hadis” (lihat al-Maudhu’at,
II: 199!)
Kesimpulan:
Shaum
yang disyariatkan secara khusus pada bulan Dzulhijjah hanya shaum Arafah pada
tanggal 9 Dzulhijjah
0 komentar:
Posting Komentar
Mari meraih kebaikan dengan berbagi. Tinggalkan komentarmu kawan...