Tiga Tingkatan Mahabbah
Kata “cinta” tidak akan pernah selesai dibahas orang atau diapresiasi dengan berbagai sikap. Eksistensinya akan terus membumi menghadirkan ketenangan dan kebahagiaan hakiki. Karena cinta semua akan terasa nyaman walaupun keadaan diri tengah dilanda kesengsaraan lahiriah.
Sebagai sebuah fitrah yang Allah titipkan kepada manusia, cinta menjadi hal yang sakral untuk dijaga, karena cinta lah yang akan mengantarkan kita kepada tepian hidup, yaitu kebahagiaan sejati dan kesenangan hakiki (baca: ridla Allah). Tetapi cinta pun bisa mengarahan kita kepada keterpurukan diri dunia dan akhirat, ketika tidak mampu mengapresiasikannya dengan benar sesuai fitrahnya yang suci.
Abdullah Nasih Ulwan membagi cinta ke dalam tiga tingkatan, yaitu al-mahabbatul ula (cinta utama), al-mahabbatul wustha (cinta pertengahan), dan al-mahabbatul adna (cinta rendah). Cinta yang utama adalah cinta kepada Sang Pencipta, Allah swt., dan cinta kepada Sang Teladan, Muhammad saw.. Cinta pertengahan adalah cinta kepada dunia, harta, keluarga, suami/istri, anak, dll.. Cinta yang rendah merupakan blind love yang arahnya hanya sekedar pemuasan syahwat.
Dari ketiga mahabbah tersebut, cinta yang utama adalah cinta yang pasti mengantarkan kepada kebahagiaan dan kesenangan hakiki. Sedangkan cinta pertengahan, memiliki dua potensi, keberadaannya bisa berimplikasi positif tetapi bisa juga negatif. Untuk cinta yang ketiga, cinta tingkat rendah, efeknya adalah keterpurukan dan kesengsaraan dunia dan akhirat.
Mencintai Karena Allah
Mari kita fokuskan kajian terhadap al-mahabbatul wustha. Di dalam al-Quran, Allah menjelaskan fitrah tentang condongnya manusia untuk mencintai sesuatu. “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Q.S. Ali Imran [3]: 14).
Ayat tersebut merupakan penegasan dari Allah bahwa sebagai manusia, kita dibekali potensi cinta. Namun, seberapa besarkah perhatian kita untuk menjaganya dan mengeksplorasinya mejadi penambah kebaikan (berkah hidup). Karena banyak sekali pecinta-pecinta dunia (kekasih, harta, tahta, prestasi, apresiasi, dll.) yang buta terhadap tujuan Allah membekali dengan kecintaan tersebut.
Allah, sebagai pemiliki mahabbah, menuntut manusia mampu menjadikan cinta terhadap dunia sebagai wasilah cinta kepada-Nya. Mencintai dunia adalah sesuatu hal yang ibahah (dibolehkan). Meminjam istilah seorang Ustadz, ibahah itu laksana bahan baku yang akan menjadi suatu barang setelah melalui proses produksi, tergantung skill dari produsen. Jika skill-nya rendah, maka adonan kue yang cukup komplit akan menjadi kue yang berkualitas rendah. Jika skill-nya tinggi, maka adonan kue yang sederhana akan disulap menjadi kue yang berkualitas tinggi.
Begitu juga dengan mahabbah sebagai “bahan baku”, tergantung “skill” kita dalam “memproduksi”-nya. Jika dilandaskan dengan niat lillah ta’ala dan dibumbui dengan taat syariat, maka “adonan” mahabbah akan disulap menjadi penambah kebaikan hidup. Begitu pula sebaliknya.
Tips Menjaga Mahabbah
Ikhwan dan akhwat yang sudah mulai cukup usia menyempurnakan agama (baca: nikah), dituntun untuk melandaskan mahabbah-nya karena Allah dan menjalani masa ta’aruf menuju khithbah yang pada akhirnya melaksanakan walimah, dengan mengikuti tuntunan syariat. Selama akad belum diproklamirkan, maka tiada kehalalan sedikit pun untuk melakukan sesuatu di luar batas.
Pertama, menyingkirkan niat keliru. Semua hubungan dengan siapapun terutama dengan calon suami/istri, mesti dilandasi untuk menyempurnakan agama dan meningkatkan ketakwaan diri. Hal ini adalah manifestasi dari mahabbah lillah.
Kedua, Rasulullah memberikan arahan, “Laa yahluwannar-rajulu bi imra`atin illaa ma’a dziy mahramin”, seorang laki-laki tidak boleh berkhalwat (berdua-duaan) dengan seorang perempuan tanpa didampingi mahram.
Ketiga, ghadl-dlul bashar (menundukkan padangan). Allah swt. berfirman, "Hendaklah mereka (perempuan-perempuan) menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya…”. (Q.S. An-Nur [24]: 31).
Keempat, menjauhi pendekat-pendekat zina. Allah menegaskan, “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. al-Isra [17]: 32).
Kelima, mitalah perlindungan kepada Allah agar dijauhi dari godaan setan yang selalu menginginkan manusia tersesat dan terhina. Sebagaimana doa Nabi Musa a.s., “A’uudzu billaahi an akuuna minal jaahiliin”, Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil.
Ta’aruf v.s. Pacaran
Ta’aruf adalah bentuk resiprokal (timbal balik) dari kata ‘arafa yang berarti mengenal. Karena masuk kepada bentuk tafaa’ala yatafaa’alu tafaa’ulan perubahannya menjadi ta’aarafa yata’aarafu ta’aarufan yang berarti saling mengenal. Ta’aruf disempitkan pengertiannya sebagai proses mengenali seseorang yang akan dijadikan betterhalf (pendamping hidup). Padahal makna sebenarnya sangat luas.
Lalu bagaimana bedanya dengan pacaran? Perlu dingat, pacaran berasal dari bahasa Jawa Kuno yaitu pacar yang berarti persiapan menuju pernikahan. Dua sejoli yang sudah saling mengenal yang di-follow up-i dengan proses melamar kemudian mereka menyiapkan diri menuju sakralitas pernikahan. Nah, proses persiapan ini dinamakan pacaran. Tetapi makna pacaran berubah menjadi sesuatu yang kurang tepat, yaitu apel, jalan-jalan, shoping, khalwat, bahkan ada yang lebih terpuruk dengan perbuatan asusila sebagai insan bermoral.
Ketika pacaran dimaksudkan dengan pengertian yang semestinya (persiapan pernikahan), maka pacaran identik dengan ta’aruf. Tetapi ketika maknanya berubah sebagaimana disebut di muka, maka pacaran (berdasarkan definisi kedua) bukanlah ta’aruf, karena di dalam ta’aruf terdapat niat yang suci sebagai awal dari ibadah penyempurna agama (nikah).
Jadi, jelaslah bahwa ta’aruf adalah pacaran dengan definisi pertama yaitu keseriusan menuju jenjang pernikahan. Walaupun dengan label ta’aruf tetapi masih jauh menuju pernikahan, maka namanya bukanlah ta’aruf karena di dalam ta’aruf ada satu percepatan dengan penuh pertimbangan termasuk kemampuan untuk segera menikah. Tegasnya, ketika ikhwan dan akhwat memutuskan ta’aruf, maka bom waktu masa lajangnya akan segera merapat menuju bahtera rumah tangga.
Dan, yakinkan kembali bahwa semua itu dilandasi dengan motivasi ibadah, ikhlash karena Allah semata, dan menjalankan syariat sesuai kehendak Sang Pemilik manusia.
0 komentar:
Posting Komentar
Mari meraih kebaikan dengan berbagi. Tinggalkan komentarmu kawan...