Adalah
sunnatullah bahwa hidup itu dinamis, bagaikan roda yang berptar pada porosnya.
Terkadang bahagia, terkadang sedih melanda; terkadang bersuka, terkadang
berduka; suatu saat dalam kejayaan, di saat lain “titik nol” teralami. Jika
tidak demikian nampaknya hidup tidak lah indah.
Dalam
sunnatullah tersebut tentunya kita hanya menginginkan kesenangan,
keberlimpahan, dan kejayaan. Namun, karena sifatnya dinamis, dalam kehidupan
kita harus siap ketika Allah menghendaki sesuatu yang tidak diinginkan, sesuatu
yang bisa saja membawa kita ke “titik nol” bahkan ke “titik minus”. Anggap saja
ini merupakan ujian kenaikan kelas dalam kehidupan.
Ketika
hal tersebut terjadi, ada tiga hal penting yang harus diupayakan. Tiga hal
tersebut antara lain evaluasi, perencanaan, dan aplikasi. Mari kita bahas satu
per satu.
1.
Evaluasi
Evaluasi
berarti kita flash back tentang diri kita: ucapan, perbuatan, sikap,
bisik hati, gestur, dll.. Pertanyaan umum yang harus dijawab diri kita adalah,
“Sejauh mana ketaatan dan perhatian kita kepada Allah? Seberapa besar manfaat
yang kita tebarkan kepada sesama?”
Jawaban
dari pertanyaan ini akan menentukan status musibah yang dihadapi. Jika hasil
evaluasi menyatakan bahwa kita ini sudah baik dan benar, terlepas dari
subjektivitasnya, maka musibah tersebut merupakan ujian secara murni yang
tujuannya adalah kenaikan derajat diri.
Sebaliknya,
jika diri kita merasa banyak pelanggaran syariat, ibadah semakin malas, ini
bisa menjadi indikasi bahwa musibah yang terjadi adalah tahdzir atau
peringatan dari Allah agar kita segera kembali ke jalan yang benar. Tobat.
Umar
r.a. mengungkapkan:
حَاسِبُوْا
اَنْفُسَكُمْ قَبْلَ اَنْ تُحَاسَبُوْا
“Hisablah diri kalian, sebelum
kalian dihisab”.
Demikianlah evaluasi, sangat penting
untuk diupayakan setiap hari. Dengannya kita akan mengetahui sejauh mana amal
kita dana bagaimana hasil yang akan didapat dengan amal terebut. Jika amalnya
baik dan benar, tentunya kita akan yakin hasilnya pasti baik dan besar. Jika
amalnya tidak baik, tentunya kita pun tahu bagaimana hasilnya nanti.
2. Perencanaan
Setelah
semua dievaluasi dan mendapatkan jawaban, langkah lanjutan yang mesti ditempuh
adalah perencanaan. Perencanaan sangat penting untuk keberhasilan.
Ada
sebuah uangkapan, “Gagal merencanakan, sama saja dengan merencanakan gagal”.
Jadi, untuk menghindari kegagalan, baik dalam amal ibadah maupun dalam urusan
dunia, maka perencanaan yang baik dan benar mutlak diperlukan.
Lalu,
apa saja yang harus kita rencanakan? Banyak! Jika dibahas satu per satu,
mungkin butuh lembaran yang cukup banyak. Kita sudutkan saja pada perencanaan
amal ibadah.
Misalnya
dalam amal ibadah yaumiyah (harian) kita merencanakan:
1.
Shalat wajib tepat waktu plus berjamaah
2.
Shalat sunat rawatib qabla dan ba’da akan selalu terjaga
3.
Baca Quran setiap hari minimal ba’da Shubuh dan ba’da Maghrib
4.
Shalat Dhuha 4 rakaat
5.
Shalat malam 11 rakaat
6.
Shadaqah lebih banyak dan lebih ikhlas
7.
Silaturahmi lebih sering
Perencanaan
seperti pada contoh tersebut akan membuat kita teruntuntun dan tertuntut agar
setiap langkah terarah sesuai dengan apa yang direncanakan. Hari-hari kita
tidak akan polos dan lempeng-lempeng saja. Demi tercapainya perencanaan
tersebut, kita akan siap mengorbankan waktu, tenaga dan harta. Itupun jika kita
komitmen dengan apa yang kita rencanakan. Maka, hal penting dalam perencanaan
adalah komitment untuk melakukan aplikasi perencanaan.
3.
Aplikasi
Nah,
setelah kita merencanakan segalanya, kita lakukan aplikasi. Dalam contoh
perencanaan point pertama misalnya, kita aplikasikan shalat tepat waktu sembari
berjamaah. Bagaimana perjuangan dan pengorbanannya? Ya, kita korbankan waktu
dan kesibukan kita untuk Allah. Kita simpan kesibukan dunia sesaat saja.
Selepas shalat terdirikan, baru kita bertebaran kembali di muka bumi untuk
menjemput fadilah Allah SWT. Demikian yang tertera dalam Q.S. al-Jumu’ah ayat
10. Demikian seterusnya sehingga perencanaan nomor 2 sampai perencanaan akhir kita
aplikasikan.
Dalam
aplikasi ini terdapat rintangan yang menghadang. Siapa yang membuat hadangan
tersebut? Anda pasti sudah tahu, setan adalah yang menggeletakkan “pohon besar”
di jalan perjuangan kita. “Pohon besar” itu bisa bernama malas, enggan,
menunda-nunda waktu, menyepelekan amal sunat, membisikkan riya dan sum’ah, dan
hal lain yang sifatnya ambivalen dengan syariat.
Oleh
karena itu, kita mesti memiliki strategi agar perencanaan berbuah menjadi amal
kongkrit. Strategi itu bernama ikhlas, isti’adzah, mendawamkan amal baik
meskipun kecil, duduk semajlis dengan orang saleh, menjadi orang berlimu, dan
lain-lain. Setan akan merasa berat untuk menghalangi orang-orang sedemikian.
Demikian
tiga hal global yang harus diupayakan ketika musibah terjadi. Mengevaluasi
kalau-kalau ada kesalahan diri, merencanakan amal baik untuk menutupi
kesalahan, dan segera mengaplikasikan rencana amal baik tersebut.
Ketiga
hal ini tiada lain agar setiap musibah yang datang, baik itu sebagai ujian maupun
sebagai tahdzir, membekaskan kebaikan. Sehingga, meskipun secara duniawi
kita mendapatkan kepahitan, tetapi secara ukhrawi kita berlimpah barakah.
Inilah esensi dari musibah itu sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar
Mari meraih kebaikan dengan berbagi. Tinggalkan komentarmu kawan...