Si Bos dan Tukang Es
Ada kisah menarik dalam buku Hikmah karya
Ust. Ahmad Ahidin. Seorang Bos tiba-tiba melakukan sidak ke pabriknya untuk
melihat kinerja pegawainya. Di pabrik ia menemukan seorang pria muda sehat dan segar
yang tengah bersandar santai-santai, sementara di ruangan itu semua pegawai
sibuk bekerja. Si bos segera menghampiri pria yang sedang berdiri santai
itu dan bertanya:
Bos, “Berapa kau dapat sebulan?”
Dengan sedikit gugup pria itu menatap si
bos dan menjawab, “Hemmm... Rp. 2 juta, Pak. Eee... emangnya kenapa, Pak?”
Si bos lalu mengeluarkan dompetnya dan
mengambil lembaran-lembaran pecahan 100 ribuan. Lalu ia menyerahkan uang kepada
pria itu sambil berkata, “Ini gajimu 3 bulan ke depan, 6juta, pesangonmu! Cepat
keluar, pergi dari sini. Dan, awas jangan balik lag!”
Dengan gugup dan setengah takut pria itu
segera meninggalkan tempat tanpa banyak bicara, sambil kabur.
Dengan muka yang berwibawa si bos mendekati
pegawai lain yang sejak tadi menyaksikan adegan tersebut.
“Itulah nasib pekerja yang santai-santai
di pabrik saya. Saya berhentikan saat ini juga. Tidak ada tawar-menawar. Kalian
semua mengerti?” begitu ultimatumnya.
“Dari divisi mana anak muda tadi itu?”
Tanya si bos.
Suasana jadi hening sampai akhirnya
seorang staf menjawab dengan sedikit ketakutan, “Ia tidak bekerja di sini, Pak.
Ia adalah seorang penjual es keliling yang sedang menunggu
gelasnya.”.
“Hah….???” Si bos pun terperangah mendengar
jawaban bahwa si pria yang tadi diberi pesangon Rp 6 juta bukanlah pegawainya.
Pelajaran Berharga
Cerita tersebut mengajarkan kepada kita bahwa husnuzhan atau
prasangka baik sangat diperlukan. Sebaliknya, su`uzhan (prasangkan
buruk) merupakan sikap pikiran dan hati yang sama sekali tidak diajarkan oleh
Nabi.
Lihat
saja akibat yang didapat si bos yang su`uzhan. Ia harus kehilangan uang
sebesar Rp 6 juta gara-gara ia berprasangka buruk terhadap si tukang es. Coba
saja kalau ia tabayun (klarifikasi), pasti uangnya tidak akan raib
sebanyak itu.
Sekali
lagi, prasangka buruk adalah sikap pikiran dan hati yang tidak layak dipelihara
oleh seorang muslim. Karena, seorang muslim adalah orang yang menjaga harga
dirinya dan harga diri saudara semuslimnya dengan tidak memiliki pandangan
buruk. Dalam persepsinya, semua orang memiliki kekurangan dan kelebihan. Jadi,
ya tidak usah ada istilah bersangka-sangka. Kalaupun ada fakta buruk, ia akan
senantiasa menutupinya bukan meng-expose-nya. Demikian yang Nabi
jelaskan dalam haditsnya.
Tentang
Prasangka
Bolehkah
kita berprasangka? Mari kita perhatikan ayat berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا
كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ
أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ
إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang
yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka. Sesungguhnya sebagian dari
prasangka itu dosa. Dan, janganlah
mencari-cari keburukan orang dan jangan pula menggunjingkan satu sama lain.
Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Hujurat [49]: 12).
Ayat ini menegaskan bahwa kita
diperintah untuk menjauhi (tidak memiliki) prasangka. Alasan Allah, sebagian
prasangka itu dosa. Karena hakekatnya kita tidak mengetahui mana prasangka yang
dosa dan mana yang tidak, maka Allah menyuruh secara mutlak agar tidak
berprasangka. Ini merupakan ikhtiyat (kehatia-hatian).
Dalam sebuah hadist riwayat Muslim yang
diterima dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ
أَكْذَبُ الْحَدِيثِ
“Hati-hatilah kalian
terhadap prasangka. Sesungguhnya prasangka itu sedusta-dustanya pembicaraan...”
Dalam hadits ini, Nabi lebih tegas
menjelaskan bahwa prasangka itu merupakan pembicaraan yang paling dusta. Logisnya,
tanpa ada bukti yang valid seseorang ujug-ujug men-justifikasi buruk
terhadap seseorang yang lain. Ini jelas kedustaan. Dalam hukum Islam saja,
bukti yang valid merupakan hal penunjang ditetapkannya kebenaran dan kesalahan.
Kita bisa pelajari kisah Ali bin Abu
Thalib yan bersengketa dengan orang Yahudi tentang baju besinya yang hilang.
Apa yang diputuskan hakim? Karena Ali tidak bisa membuktikan bahwa baju besi
itu miliknya, maka hakim menetapkan bahwa baju besi itu milik si Yahudi.
Padahal, saat itu Ali adalah Khalifah. Ini jelas, bukti adalah penunjang
keputusan hukum dalam Islam.
Adakah Prasangka
yang Boleh?
Berdasarkan ayat dan hadits di atas,
secara umum, prasangka itu dilarang oleh Allah dan Rasulullah saw.. Lalu,
adakah prasangka yang dibolehkan?
Menurut hemat saya, ayat dan hadits
sebagaimana disebut membicarakan prasangka yang buruk terhadap seseorang yang
sama sekali belum ada faktanya. Sebelum ada tabayun prasangka buruk
tersebut bisa berbuah dosa. Kenapa? Pertama, belum tentu benar yang
disangkakannya dan ini bisa berimplikasi menjadi buhtan (tuduhan tanpa
bukti) sedangkan buhtan adalah dosa. Kedua, seorang muslim tidak pantas
berakhlak sedemikian.
Kalaupun mau berprasangka, objeknya
mesti dialamatkan kepada dugaan kriminalitas atau pelanggaran syari’at. Dalam
bahasa yang lebih mudah, prasangka seperti ini namanya waspada. Ya, waspada
adalah kemestian karena waspada lebih menyelamatkan. Ketika ada orang yang
gerak-geriknya tidak biasa, gesturnya mencurigakan, mimik mukanya seakan ada
niat jahat, maka waspadalah dan waspadalah. Segera jauhi, atau pantau sebisa
mungkin agar terhidar dari kejahatan.
Lalu, bagaimana prasangka yang
kaitannya bukan pada dugaan kriminalitas atau pelanggaran syari’at? Nah, untuk
hal ini saya kira tidak ada prasangka yang boleh. Prasangka inilah yang
dialamatkan oleh ayat dan hadits sebagaimana dijelaskan. Sebagiannya adalah
dosa dan merupakan sedusta-dustanya pembicaraan.
Contoh Prasangka
Agar lebih mudah memahami, mari kita
buat contoh kongkrit. Untuk prasangka yang boleh bahkan diharuskan (waspada),
contohnya sudah dijelaskan di muka. Ketika ada seseorang yang asing,
gerak-geriknya mencurigakan, getur dan mimik wajahnya pun terlihat seperti
hendak melakukan kejahatan misalnya mencuri; maka kita hendaknya waspada,
memantaunya, melaporkan, atau apa saja yang dpat dilakukan sehingga tidak
terjadi kejahatan sebagaimana dicurigai.
Untuk contoh prasangka yang tidak
boleh, misalnya kita melihat seorang sahabat perilakunya menjadi tidak biasa,
tidak menyapa, seolah cuek bebek terhadap kita; prasangka buruk
terhadapnya dikhawatirkan menjadi dosa. Baiknya, dibikin santai saja. Kalau mau
lebih jelas, coba tabayun. Karena, mungkin saja ia sedang sakit, atau
sedang ada masalah, sedang galau, dan hal-hal lain. Berprasangkalah yang baik
terhadapnya. Tidak usah langsung menstigma atau menyimpulkan negatif.
Husnuzhan dan
Tabayun Lebih Baik
Bagi seorang muslim, dalam menyikapi
masalah hidup akan senantiasa mengedepankan kehati-hatian. Kehati-hatian lebih
dekat dengan keselamatan. Lihat saja, pengendara yang
ugal-ugalan banyak celaka di
jalan. Sementara pengendara
yang hati-hati, banyak yang selamat sampai tujuan.
Nah,
di antara sikap hati-hati tersebut adalah husnuzhan dan tabayun.
Dengan dua hal ini, insya Allah hati kita bisa nyaman, tenang dan terhindar
dari penyakit hati. Dan,
sangat tidak layak seorang muslim selalu mengedepankan buruk sangka apalagi terhadap sesama muslim tanpa ada tabayun
terlebih dahulu.
Muslim
itu artinya orang berserah diri kepada Allah. Muslim itu berarti orang yang
menyelamatkan diri dari penyakit-penyakit hati sepertri halnya su`uzhan.
Muslim itu berarti orang yang menyelamatkan dirinya dari kekeliruan dan
kekhilafan sehingga ia selamat dari siksa neraka.
0 komentar:
Posting Komentar
Mari meraih kebaikan dengan berbagi. Tinggalkan komentarmu kawan...