Jumat, 31 Mei 2013

Membudayakan Husnuzhan dan Tabayun



Si Bos dan Tukang Es
Ada kisah menarik dalam buku Hikmah karya Ust. Ahmad Ahidin. Seorang Bos tiba-tiba melakukan sidak ke pabriknya untuk melihat kinerja pegawainya. Di pabrik ia menemukan seorang pria muda sehat dan segar yang tengah bersandar santai-santai, sementara di ruangan itu semua pegawai sibuk bekerja. Si bos segera menghampiri pria yang sedang berdiri santai itu dan bertanya:

Bos, “Berapa kau dapat sebulan?”

Dengan sedikit gugup pria itu menatap si bos dan menjawab, “Hemmm... Rp. 2 juta, Pak. Eee... emangnya kenapa, Pak?”

Si bos lalu mengeluarkan dompetnya dan mengambil lembaran-lembaran pecahan 100 ribuan. Lalu ia menyerahkan uang kepada pria itu sambil berkata, “Ini gajimu 3 bulan ke depan, 6juta, pesangonmu! Cepat keluar, pergi dari sini. Dan, awas jangan balik lag!”

Dengan gugup dan setengah takut pria itu segera meninggalkan tempat tanpa banyak bicara, sambil kabur.

Dengan muka yang berwibawa si bos mendekati pegawai lain yang sejak tadi menyaksikan adegan tersebut.

“Itulah nasib pekerja yang santai-santai di pabrik saya. Saya berhentikan saat ini juga. Tidak ada tawar-menawar. Kalian semua mengerti?” begitu ultimatumnya.

“Dari divisi mana anak muda tadi itu?” Tanya si bos.

Suasana jadi hening sampai akhirnya seorang staf menjawab dengan sedikit ketakutan, “Ia tidak bekerja di sini, Pak. Ia adalah seorang penjual es keliling yang sedang menunggu gelasnya.”.

“Hah….???” Si bos pun terperangah mendengar jawaban bahwa si pria yang tadi diberi pesangon Rp 6 juta bukanlah pegawainya.

Pelajaran Berharga
Cerita tersebut mengajarkan kepada kita bahwa husnuzhan atau prasangka baik sangat diperlukan. Sebaliknya, su`uzhan (prasangkan buruk) merupakan sikap pikiran dan hati yang sama sekali tidak diajarkan oleh Nabi.

Lihat saja akibat yang didapat si bos yang su`uzhan. Ia harus kehilangan uang sebesar Rp 6 juta gara-gara ia berprasangka buruk terhadap si tukang es. Coba saja kalau ia tabayun (klarifikasi), pasti uangnya tidak akan raib sebanyak itu.

Sekali lagi, prasangka buruk adalah sikap pikiran dan hati yang tidak layak dipelihara oleh seorang muslim. Karena, seorang muslim adalah orang yang menjaga harga dirinya dan harga diri saudara semuslimnya dengan tidak memiliki pandangan buruk. Dalam persepsinya, semua orang memiliki kekurangan dan kelebihan. Jadi, ya tidak usah ada istilah bersangka-sangka. Kalaupun ada fakta buruk, ia akan senantiasa menutupinya bukan meng-expose-nya. Demikian yang Nabi jelaskan dalam haditsnya.

Tentang Prasangka
Bolehkah kita berprasangka? Mari kita perhatikan ayat berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka. Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa. Dan, janganlah mencari-cari keburukan orang dan jangan pula menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Hujurat [49]: 12).

Ayat ini menegaskan bahwa kita diperintah untuk menjauhi (tidak memiliki) prasangka. Alasan Allah, sebagian prasangka itu dosa. Karena hakekatnya kita tidak mengetahui mana prasangka yang dosa dan mana yang tidak, maka Allah menyuruh secara mutlak agar tidak berprasangka. Ini merupakan ikhtiyat (kehatia-hatian).

Dalam sebuah hadist riwayat Muslim yang diterima dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ
“Hati-hatilah kalian terhadap prasangka. Sesungguhnya prasangka itu sedusta-dustanya pembicaraan...”

Dalam hadits ini, Nabi lebih tegas menjelaskan bahwa prasangka itu merupakan pembicaraan yang paling dusta. Logisnya, tanpa ada bukti yang valid seseorang ujug-ujug men-justifikasi buruk terhadap seseorang yang lain. Ini jelas kedustaan. Dalam hukum Islam saja, bukti yang valid merupakan hal penunjang ditetapkannya kebenaran dan kesalahan.

Kita bisa pelajari kisah Ali bin Abu Thalib yan bersengketa dengan orang Yahudi tentang baju besinya yang hilang. Apa yang diputuskan hakim? Karena Ali tidak bisa membuktikan bahwa baju besi itu miliknya, maka hakim menetapkan bahwa baju besi itu milik si Yahudi. Padahal, saat itu Ali adalah Khalifah. Ini jelas, bukti adalah penunjang keputusan hukum dalam Islam.

Adakah Prasangka yang Boleh?
Berdasarkan ayat dan hadits di atas, secara umum, prasangka itu dilarang oleh Allah dan Rasulullah saw.. Lalu, adakah prasangka yang dibolehkan?

Menurut hemat saya, ayat dan hadits sebagaimana disebut membicarakan prasangka yang buruk terhadap seseorang yang sama sekali belum ada faktanya. Sebelum ada tabayun prasangka buruk tersebut bisa berbuah dosa. Kenapa? Pertama, belum tentu benar yang disangkakannya dan ini bisa berimplikasi menjadi buhtan (tuduhan tanpa bukti) sedangkan buhtan adalah dosa. Kedua, seorang muslim tidak pantas berakhlak sedemikian.

Kalaupun mau berprasangka, objeknya mesti dialamatkan kepada dugaan kriminalitas atau pelanggaran syari’at. Dalam bahasa yang lebih mudah, prasangka seperti ini namanya waspada. Ya, waspada adalah kemestian karena waspada lebih menyelamatkan. Ketika ada orang yang gerak-geriknya tidak biasa, gesturnya mencurigakan, mimik mukanya seakan ada niat jahat, maka waspadalah dan waspadalah. Segera jauhi, atau pantau sebisa mungkin agar terhidar dari kejahatan.

Lalu, bagaimana prasangka yang kaitannya bukan pada dugaan kriminalitas atau pelanggaran syari’at? Nah, untuk hal ini saya kira tidak ada prasangka yang boleh. Prasangka inilah yang dialamatkan oleh ayat dan hadits sebagaimana dijelaskan. Sebagiannya adalah dosa dan merupakan sedusta-dustanya pembicaraan.

Contoh Prasangka
Agar lebih mudah memahami, mari kita buat contoh kongkrit. Untuk prasangka yang boleh bahkan diharuskan (waspada), contohnya sudah dijelaskan di muka. Ketika ada seseorang yang asing, gerak-geriknya mencurigakan, getur dan mimik wajahnya pun terlihat seperti hendak melakukan kejahatan misalnya mencuri; maka kita hendaknya waspada, memantaunya, melaporkan, atau apa saja yang dpat dilakukan sehingga tidak terjadi kejahatan sebagaimana dicurigai.

Untuk contoh prasangka yang tidak boleh, misalnya kita melihat seorang sahabat perilakunya menjadi tidak biasa, tidak menyapa, seolah cuek bebek terhadap kita; prasangka buruk terhadapnya dikhawatirkan menjadi dosa. Baiknya, dibikin santai saja. Kalau mau lebih jelas, coba tabayun. Karena, mungkin saja ia sedang sakit, atau sedang ada masalah, sedang galau, dan hal-hal lain. Berprasangkalah yang baik terhadapnya. Tidak usah langsung menstigma atau menyimpulkan negatif.

Husnuzhan dan Tabayun Lebih Baik
Bagi seorang muslim, dalam menyikapi masalah hidup akan senantiasa mengedepankan kehati-hatian. Kehati-hatian lebih dekat dengan keselamatan. Lihat saja, pengendara yang ugal-ugalan banyak celaka di jalan. Sementara pengendara yang hati-hati, banyak yang selamat sampai tujuan.

Nah, di antara sikap hati-hati tersebut adalah husnuzhan dan tabayun. Dengan dua hal ini, insya Allah hati kita bisa nyaman, tenang dan terhindar dari penyakit hati. Dan, sangat tidak layak seorang muslim selalu mengedepankan buruk sangka apalagi terhadap sesama muslim tanpa ada tabayun terlebih dahulu.

Muslim itu artinya orang berserah diri kepada Allah. Muslim itu berarti orang yang menyelamatkan diri dari penyakit-penyakit hati sepertri halnya su`uzhan. Muslim itu berarti orang yang menyelamatkan dirinya dari kekeliruan dan kekhilafan sehingga ia selamat dari siksa neraka.

Maka, ketika kita mengaku sebagai seorang muslim, mari pelihara dan budayakan husnuzhan (baik sangka) dan tabayun (klarifikasi). Dengan keduanya, hati menjadi plong dan insya Allah pahala dan rezeki pun akan plong juga.

0 komentar:

Posting Komentar

Mari meraih kebaikan dengan berbagi. Tinggalkan komentarmu kawan...