Rabu, 04 April 2012

Empat Waktu Orang Berakal: Munajat, Tafakur, Muhasabah dan Mencari Nafkah


“Selayaknya, orang yang berakal sehat memiliki empat waktu, yaitu waktu untuk bermunajat, waktu untuk bertafakur, waktu untuk bermuhasabah, dan waktu untuk memenuhi kebutuhan hidup”.
(H.R. Ahmad)


Waktu itu nikmat yang nyata bagi umat manusia. Namun, terkadang waktu yang Allah berikan ini kerap dilupakan sehingga yang ada hanyalah waktu menggelinding tanpa makna.

Maka pantas ketika Allah bersumpah menggunakan waktu, wa al-’ashr (demi waktu), Allah melanjutkan dengan kalimat penuh kekuatan (taukid) bahwa seluruh manusia itu akan rugi. Hal ini karena banyak manusia yang melalaikan waktu hidupnya. Namun, ada tiga golongan yang dikecualikan mendapat kerugian, yaitu orang beriman, beramal shaleh, dan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran (lihat Q.S. al-‘Ashr!).


Oleh karena itu, agar terhindar dari kerugian yang nyata, maka Rasulullah dalam hadits riwayat Ahmad seperti dinukil di awal, memberikan motivasi kepada orang yang berakal sehat tentang management waktu. Dalam hal ini, waktu mesti dialokasikan untuk empat hal, yaitu (1) munajat, (2) tafakur, (3) muhasabah, dan (4) memenuhi hajat hidup.

Pertama, orang berakal itu semestinya memanfaatkan waktu untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. (baca: munajat). Caranya, ya sudah pasti beribadah mesti ikhlas dan benar. Memperbanyak amal untuk bekal menuju hidup yang kekal. Memperbanyak dan memperikhlas shadaqah. Menghiasi diri dengan akhak mulia. Berbicara yang baik, tuturnya dan isinya. Dan, seluruh hal yang baik serta nyar’i.

Kedua, sebagai orang berakal, seperempat waktu itu mesti diuntukkan bertafakur, memikirkan hidup dan kehidupan. Menafakuri alam semesta dan segala keindahannya. Plus, memikirkan diri kita sendiri sebagai makhluk fī ahsani taqwīm, sempurna secara wujud lahiri dan batini. Hasil dari berpikir ini adalah adanya kesimpulan, “Rabbanā, mā khalaqta hādzā bātilan, subhānaka faqinā ‘adzāban-nār”. Ya Allah, tidaklah Enghkau menciptakan hal ini dengan sia-sia, jauhkanlah kami dari siksa neraka. Demikian kongklusi bijak hasil tafakur.

Ketiga, muhasabah merupakan moment penting di kehidupan. “Hisablah dirimu sendiri sebelum kamu dihisab oleh Allah” tandas Umar bin Khathab. Muhasabah ini penting sebagai controling terhadap diri. Karena, terkadang kita sebagai manusia biasa, lupa akan kesalahan diri. Pepatah  “semut di seberang jelas terlihat, gajah di pelopak mata tidak tampak” pun kerap terjadi. Pandai bermuhasabah akan membuka pintu kebaikan bagi diri. Sikap bijaksana pun akan tetap terpelihara.

Keempat, setiap orang memiliki kewajiban untuk memenuhi hajat hidup. Suami berkewajiban mencari nafkah untuk kelangsungan hidup keluarga. Istri pun berkewajiban untuk memerhatikan kehidupan keluarga, alokasi finansial, pendidikan anak, pelayanan terhadap suami, dll..

Pada intinya, seperempat hidup mesti digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup. Beribadah boleh tekun dan giat, maka mencari dunia pun semestinya tekun dan giat pula. Ini tiada lain sebagai wasilah beribadah. Shalat saja butuh pakaian untuk menutup aurat sebagai salah satu syarat sahnya shalat. Sedangkan pakaian didapat dari hasil membeli atau membuat. Lalu membeli atau membuat sudah pasti membutuhkan dana. Nah, dana itu didapat dari hasil usaha.

Dalam hal ini ada kaidah ushul menegaskan, “Al-Amru fi syai`in, amrun bi wasā`ilihi”, perintah terhadap suatu perkara berarti perintah untuk menempuh perantara-perantaranya. Perintah beribadah berarti perintah mencari materi sebagai penyokongnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Mari meraih kebaikan dengan berbagi. Tinggalkan komentarmu kawan...