Shalat itu Rukun Islam yang
Hebat
Sudah
dipahami bahwa shalat merupakan rukun Islam kedua
setelah syahadat. Shalat merupakan ibadah yang tidak boleh gugur karena keadaan
apapun kecuali beberapa hal, yakni wanita haid dan nifas, anak kecil, tidur
(tidak sadar), dan hilang akal (gila).
Sedang
sakit seberat apapun shalat tetap mesti dijalankan. Berbeda dengan ketiga rukun
setelahnya, jika kondisi tidak memungkinkan, maka hukum menjadi gugur. Hukum
shaum gugur jika yuthīqūnahu, tidak mampu sama sekali. Pun dengan zakat
dan haji, jika belum mampu keduanya tidak menjadi wajib.
Apabila
hendak ditayakan, “Kenapa sih Allah segitu ketatnya memberlakukan
syariat shalat, sampai-sampai sedang sakit berat pun tetap kudu shalat?”,
maka jawabannya menukik pada faedah dan hikmah yang terkandung di dalam shalat
itu sendiri di samping sebagai sumber pahala melimpah ruah.
Banyak
buku yang secara khusus membahas tentang keutamaan shalat dalam urusan fisik dan psikis. Kesimpulan berbagai buku
tersebut secara tegas menyatakan bahwa shalat itu memiliki efek positif
terhadap kesehatan ruhani dan jasmani. M. Soleh, misalnya. Demi mendapatkan
gelar Doktor dalam Ilmu Kedokteran di Universitas Surabaya, beliau menghabiskan waktu untuk meneliti tentang
shalat. Dari hasil risetnya tersebut, dibuatlah kongklusi apik bahwa shalat
yang benar baik dalam gerakan maupun keikhlasan dan kehusyuannya, akan
berdampak baik terhadap imunitas tubuh. Dan, ini diakui oleh Harvard University
Amerika Serikat.
Standar
Shalat yang Benar
Kita
tinggalkan pembahasan efek baik shalat terhadap kesehatan. Mari kita fokus pada bagaimana agar
shalat kita tidak menyalahi petunjuk Rasulullah saw.? Bagaimana ukuran shalat
yang benar?
Secara
global, ada dua syarat benarnya shalat seseorang. Pertama, niatnya benar.
Kedua, caranya sesuai “juklak dan juknis” dari Rasulullah saw..
Pembahasan
tentang niat sudah disinggung pada edisi yang lalu dalam Fenomena Umrah. Kini, kita akan mengupas cara
shalat yang benar secara fisik. Kalau
sudah siap, mari kita meluncur.
1. Tuma`ninah dalam Kaifiyat
Seorang
laki-laki masuk masjid. Kemudian ia shalat. Selepas shalat ia menghampiri
Rasulullah yang sedang duduk di pinggir masjid seraya mengucapkan salam.
Rasulullah
menjawab salamnya kemudian mengatakan sesuatu, “Ulangi lagi (shalatnya), karena
sesungguhnya kamu belum shalat”.
Si
laki-laki pun segera memenuhi titah Rasulullah. Ia shalat kembali sebagaimana
intruksi Rasulullah. Selesai shalat ia menghampiri Rasul sembari mengucapkan
salam.
Rasulullah
menjawab salamnya kemudian mengatakan sesuatu, “Ulangi lagi (shalatnya), karena
sesungguhnya kamu belum shalat”.
Orang
itu kembali shalat untuk yang kedua kalinya meskipun di benaknya ada tanda
tanya. Selesai shalat, segera ia menghampiri Rasulullah dan mengucapkan salam.
Seperti
sebelumnya, lagi-lagi Rasulullah menyuruh laki-laki itu untuk mengulangi
shalat. Ia penasaran, ada apa dengan Rasulullah, kok menyuruh shalat lagi
padahal ia sudah shalat?
“Rasulullah,
demi Dzat yang telah mengutus Engkau
dengan membawa kebenaran, ajarkanlah kepadaku!” Demikian si laki-laki itu
meminta pengajaran kepada Rasulullah saw..
Maka,
Rasulullah memberi nasehat kepadanya, “Jika kamu hendak shalat, sempurnakanlah
wudhu. Kemudian menghadaplah ke kiblat dan segera takbir. Lalu, bacalah ayat
Quran yang kamu mudah membacanya”.
Beliau
melanjutkan nasehatnya, “Kemudian rukuklah sampai kamu merasa tenang ketika
sedang rukuk. Bangkitlah dari rukuk sehingga kamu berdiri tegak. Lalu, sujudlah
kamu sehingga kamu merasa tenang dalam keadaan sujud. Kemudian, bangkitlah dari
sujud sehingga kamu merasa tenang dalam keadaan duduk. Kemudian, sujudlah sehingga
kamu merasa tenang dalam keadaan sujud”.
Setelah
itu, Rasulullah menutup nasehatnya dengan perintah. “Kerjakalah hal tersebut
dalam setiap shalatmu!”
Rasulullah
menyuruh
orang itu untuk mengulangi shalat
alasannya itu belum shalat. Padahal, ia sudah menjalankan shalat. Ini kenapa?
Setelah
orang itu meminta pengajaran, Rasulullah mengajarkan tata cara shalat dan tentang keharusan shalat dengan tenang. Apa
maksud Rasulullah ini? Oh, mungkin saja orang tersebut dalam gerakannya tidak benar atau tidak tenang. Seperti burung mematuk
makanannya.
Kisah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
tersebut menyuratkan pelajaran bahwa shalat itu harus dilakukan dengan cara yang benar dan tenang. Tidak buru-buru. Tidak tenang, grasak-grusuk,
sehingga gerakan shalat tidak benar berarti sama saja belum melaksanakan shalat.
Maka,
syarat benarnya cara shalat yang pertama adalah kita tidak boleh shalat
terburu-buru sehingga gerakan dan bacaan tidak benar.
2. Fasih Membaca Bacaan Shalat
Syarat selanjutnya
bahwa shalat kita dianggap benar adalah pelafalan doa-doa shalat dan ayat al-Quran mesti benar sesuai kaidah ilmu tajwid. Salah
dalam membaca satu huruf saja bisa merubah arti ayat.
Kata اَلْحَمْدُ yang artinya “pujian”
misalnya. Jika dibaca اَلْهَمْدُ, dengan
menggunakan huruf ha besar (هـ) setelah alif lam, maka artinya menjadi “berhenti”.
Misalnya juga kata نَعْبُدُ yang berarti “kami
menyembah” atau “kami beribadah”. Jika dibaca نَأْبُدُ, dengan menggunakan huruf
alif setelah huruf nun, maka artinya menjadi “kami tinggal”. Atau,
kata قُلْ yang
berati “katakanlah!”. Jika dibaca كُلْ, dengan menggunakan huruf
kaf di awalnya, maka artinya akan berubah menjadi “makanlah!”.
Jelas, bahwa
kesalahan dalam membaca huruf dalam sebuah kalimat atau ayat akan berakibat berubanya makna ayat. Ini kesalahan fatal.
Kesalahan ini
disitilahkan oleh ahli Ilmu Tajwid dengan al-Lahnul
Jaliy (kesalahan yang nampak
atau jelas). Para ulama
menghukumi kesalahan ini dengan hukum haram. Tentunya dengan kesengajaan. Oleh karena itu, kita harus
menghindarinya.
Namun, ada kesalahan
yang tidak sampai pada hukum haram. Yaitu, kesalahan yang tidak sampai merubah
arti ayat. Misalnya, dalam hukum-hukum bacaan. Seharusnya dibaca ikhfa
ternyata malah dibaca idhar. Seperti kata اِنْ كُنْتُمْ.
Bacaan yang benar adalah ing kungtum dengan ikhfa
(bunyi “ng”). Jika dibaca in
kuntum dengan idhar (tanpa bunyi “ng”), ini merupakan
kesalahan tetapi hukumnya tidak sampai haram karena tidak merubah arti kata.
Kesalahan ini disitilahkan dengan al-Lahnul Khafiy (kesalahan ringan
atau tersembunyi). Meskipun begitu, tetap saja kita harus menghindarinya karena ini kesalahan.
Oleh karena itu, kita
harus terus berusaha untuk memahami bagaimana membaca al-Quran yang benar. Berusaha
sekuat tenaga dan semampu kita. Sehingga, kita akan terhindar dari
kesalahan-kesalahan dalam membaca al-Quran.
Bayak buku-buku tentang
teknik membaca al-Quran. Kita bisa membacanya. Atau, kita bisa belajar langsung kepada ahlinya. Yang pasti,
selama nafas masih berhembus, tetaplah berusaha! Diam saja tanpa usaha mempelajarinya, ini akan membuat kita terus-terusan
dalam kesalahan. Sekali lagi, mari berusaha!
Kesimpulan
Kriteria benarnya
shalat sebagaimana dibahas di muka adalah berdasarkan sudut pandang shūratush-shalāt
(gambaran fisik shalat: gerakan dan bacaan). Adapun segi waktu dan khusyuan
shalat tidak dikupas di kesempatan ini karena ruang yang terbatas.
Pada intinya adalah
kita harus benar dalam menjalankan ibadah shalat.
Benar dalam niat, benar dalam kaifiyat, benar dalam waktu dan tempat, benar
dalam kekhusyuan, dan benar dalam atsar (bekas, hasil) shalat. Dalam hal
ini, kita tekankan, benar dalam gerakan dan bacaan shalat.
klo sholat'a masih ada rasa was2an kepikir kentut pas ngambil wudhu dan salat itu gimana ? hmmm minta pencerahan , balas'a ke email moslera07espana@gmail.com :) thanks before :)
BalasHapusBismillah…
HapusSalam…
Jawaban untuk komentar di postingan MenjadiHebat..
Was-was itu dari setan. Termasuk was-was dalam shalat.
Bagaimana jika kita was-was apakah kentut atau tidak ketika sedang menjalankan shalat? Jawabannya ada pada hadits Rasulullah saw..
إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ الشَّيْطَانُ، فَقَالَ: إِنَّكَ قَدْ أَحْدَثْتَ، فَلْيَقُلْ فِي نَفْسِهِ: كَذَبْتَ، حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا بِأُذُنِهِ، أَوْ يَجِدَ رِيحًا بِأَنْفِهِ
Jika setan datang kepada salah seorang di antara kalian (ketika sedang shalat), kemudian ia mengatakan, “Sesungguhnya kamu telah hadats (kentut). Maka ucapkanlah di dalam hati, “Engkau (setan) bohong”. Kecuali jika telinganya mendengar suara kentut atau hidungnya mencium bau. (H.R. Ibnu Hiban).
Jadi, jangan was-was, yakinin saja tidak hadats (kentut). Kecuali jika ada suara terdengar atau bau tercium.