Selasa, 03 Januari 2012

Faktor Ekonomi Bisa Saja Jadi Masalah Keluarga


Ada sebuah keluarga di sekitar rumahku. Sebut saja keluarga DN. Dulu, awal-awal nikah mereka cukup bahagia. Apalagi ditunjang dengan ekonomi yang mapan karena usahanya maju dan menghasilkan untung yang cukup besar. Saat ini mereka dikaruniai tiga orang anak yang melengkapi kebahagiaan mereka. Anak pertama, sudah tamat SMA dan bekerja di koperasi dengan peghasilan yang lumayan untuk menghidupi diri. Anak kedua masih sekolah di salah satu SMA. Sedangkan anak ketiganya masih SD kelas tiga.

Semakin tinggi pohon, semakin besar dan kuat angin yang menerpanya. Demikian pula tentang rumah tangga. Semakin merasa nyaman dan bahagia, semakin besar ujian yang akan mengunjunginya. Dan, ini dialami oleh keluarga DN.

Suatu ketika, si suami terjebak ke dalam ranjau setan laknat Allah untuknya. Ia kepergok berzina dengan adik iparnya sendiri. Sungguh perbuatan asusila sebagai manusia susila. Biadab. Sudah punya istri kok malah zina? Dengan adik ipar lagi? Tragisnya lagi, waktu itu istrinya sedang hamil anak ketiga. Masya Allah. Na’udzu billahi min dzalik...

Berita ini dimuat di koran. Pampangan foto pelaku yang wajahnya hampir tidak dikenali karena amukan massa semakin menambah citra buruk dirinya. Setiba di lokasi, aku menyaksikan sendiri masyarakat dan keluarga istri menghakiminya. Berbagai pukulan mendarat tepat di wajahnya. “Augh... augh... augh.. Ampuuuunnn...!” Demikian rintihnya yang kudengar. Duh, tak tega aku melihatnya.

Setelah dialog dengan keluarga, ikatan pernikahan yang tadinya hendak diputuskan, akhirnya dilanjutkan dengan beberapa syarat. Pihak keluarga legowo menerima musibah yang menghampiri mereka. Si suami pun dibebaskan dari punishment.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan mengumpul mejadi tahun, perjalanan hidup keluarga DN menjadi labil. Usaha yang dulu dirintis dan menghasilkan keuntungan yang besar, kini kolaps dan menjadi puing. Bisnis-bisnis lain yang dicobanya, mulai dari mejadi pegawai salah satu perusahaan peternak ayam, berdagang bubur dan dagang es keliling, belum bisa menggantikan usahanya dulu yang menjadi andalan kehidupan.

Masalah semakin ruwet. Istrinya yang terus mengeluh mencoba keberuntungannya dengan menjadi salah satu pegawai di sebuah pabrik tahu. P7 ia lakukan. Pergi pagi pulang petang penghasilan pas-pasan. Tetapi, ujian kian berat dirasakan keluarga DN. Usah-usaha yang dilakukan ternyata Allah takdirkan belum mampu mengembalikan “kejayaan” seperti yang pernah dialami.

Masalah-masalah pun kian bermunculan. Perang batin dan perang lahir terjadi. Hampir tiap hari keluarga DN dipenuhi pertengkaran. Topik pembahasan lebih kepada faktor ekonomi. Si istri menuntut suami agar memenuhi kebutuhan keluarga termasuk biaya pendidikan anak. Sudah beberapa bulan biaya pendidikan anaknya nunggak ke sekolah. Bahkan sampai ada surat tagihan segala. Malu. Mau taruh di mana ini muka. Demikian kiranya aspirasi istri dan anaknya.

Puncaknya, ketika si suami yang terus berusaha tetapi belum pun mencukupi kebutuhan hidup, si istri malah meminta cerai. Beberapa hari si istri jarang tinggal di rumah. Seluruh pakaian ia pindahkan ke rumah orang tuanya yang kebetulan dekat. Hanya terhalang oleh tiga rumah.

Pada suatu kesempatan, si suami berkunjung ke rumahku. Ia bertanya tentang sesuatu sekaligus meminta masukan dariku. Ia pun menceritakan perasaannya. Ia benar-benar terpukul dengan sikap istrinya itu. Menagis di hadapanku. Berbicara terbata dan terputus-putus. Aku melihat di dadanya beguncang sekelumit perasaan tak enak. Sesak batinnya. Tak tahu harus bagaimana lagi ia memperbaiki keluarganya. Demikian tandasnya.

Aku tidak berani terlalu dalam ikut nimbrung di masalahnya. Aku hanya memberikan saran dan motivasi. Aku hanya mengatakan bahwa nikah itu ujian. Kita harus mampu menyikapi segala masalah dengan baik. Dan, ujian nikah itu akan mampu dilewati oleh orang-orang yang benar-benar dekat dengan Allah (iman, takwa). Maka, kusarankan kepadanya, dekat-dekatlah dengan Allah sedekat-dekatnya. Allah itu akan bersama orang yang dekat dengan-Nya. Orang yang dekat dengan Allah mana kungkin Allah biarkan sendirian menghadapi masalah hidup. Istigfar atas degala kesalahan yang pernah dilakukan dari dulu sampai saat ini.

Kemudian aku pun menyarankan, jika benar-benar ia sudah mengupayakan berbagai cara untuk islah (damai) tetapi belum pun tercapai kata sepakat, maka konsekuensi terakhir harus siap diterima. Cerai. Walaupun cerai adalah perkara halal yang paling Allah benci. Ini demi kebaikan bersama saja. Bukan menyepelekan bahkan mengotori pernikahan suci.

***

Pelajaran Berharga
Dari kisah nyata yang kuuraikan secara singkat barusan, aku mendapat berbagai pelajaran berharga. Setelah kutafakuri, ternyata nikah itu bukanlah perkara yang mudah tetapi jangan dipersulit. Walaupun bukan hal mudah, Allah berjanji akan menolong setiap insan yang menikah dengan niat ibadah. Ini pasti!

Menurutku pernikahan itu bukanlah masalah material saja sebagaimana yang Rasulullah jelaskan (fisik, harta, latarbelakang), tetapi yang paling penting adalah nikah itu topangannya mesti faktor non materi (baca: agama, kesalehan hidup). Kenapa? Hm, dengan kesalehan, semuanya akan terasa indah. Walaupun harus hidup di titik nol materi sekalipun, jika pasangan memiliki kesalehan, semuanya akan siap dialami dengan segala konsekuensi.

Hakikat agama itu bukanlah pada sesuat yang sifatnya fana. Fisik itu relatif dan fana. Kata si A dia itu cantik, dia itu ganteng; tapi kata si B tidak. Justru si C lah yang cantik, si C lah yang ganteng. Lama-lama, semakin tua usia, maka wajah akan ikut menua. Keriput.

Harta juga relatif dan fana. Sebutan kaya dan miskin itu karena ada pembanding. Ketika kamu memiliki penghasilan Rp 2.000.000, penghasilanmu akan disebut besar jka dibanding dengan orang yang penghasilannya Rp 1.500.000. tetapi jika dibandingkan dengan yang penhasilannya Rp 2.500.000, penghasilanmu dianggap kecil. Jadi, siapa yang benar? Sekali lagi, harta itu relatif dan fana. Sepakat?

Nah, dengan kesalehan beragama, harta sekecil apapun tidak akan menjadi masalah jika memang ikhtiar sudah maksimal. Tinggal bersabar dan menyerahkan urusan kepada Allah. Kan Allah yang punya urusan. Kita tidak usah repot-repot mikirin urusan Allah membagikan rezeki. Yang wajib bagi kita adalah, kita laksakan perintah Allah, dalam hal ini berikhtiar menjemput rezeki secara total.

Kemudian, latar belakang juga relatif dan fana. Tidak pantas bagi seorang beriman mengedepankan latar belakang ketimbang faktor agama. Ada cerita bahwa si anak sudah memiliki hubungan dengan salah seorang ikhwan. Ikhwan tersebut bukanlah termasuk orang berpengaruh. Ia hanya orang biasa yang latar belakangnya biasa-biasa saja. Maka, orang tua pun menikahkan paksa putrinya dengan jodoh pilihan mereka.

Subhanallah... beberapa tahun berselang, ikhwan yang dulu ditolak oleh orang tuanya, menjadi ketua umum pimpinan pusat salah satu ormas di Indonesia. Ia pun keliling Indonesia menyebarkan dakwahnya. Ia dihormati oleh orang se-Indonesia. Hebat kan? Coba kalau dulu ia diterima jadi mantu, wah... bangga kiranya orang tua tersebut.

Hati-hati dengan orientasi fisik jika agama tidak ada. Hati-hati dengan harta, jika agama tidak ada. Hati-hati dengan latar belakang jika agama tidak ada. Semuanya akan mejadi fitnah jika faktor agama tidak menjadi prioritas. Sekali lagi, prioritaskan agamanya jika hendak memilih pasangan hidup. Dengan begitu, ada atau tidak adanya harta, bahagia tetap kunjung. Cantik-ganteng atau pun tidak, hati akan selalu cinta. Pintar-tidak, bangsawan-orang biasa, pejabat-rakyat, sama saja. Yang membedakan adalah ketakwaan. Itu saja.

Demikian hal ini diposting, untuk digunakan sebagaimana mestinya.

Salam hebat...!!!

0 komentar:

Posting Komentar

Mari meraih kebaikan dengan berbagi. Tinggalkan komentarmu kawan...