Minggu, 05 Februari 2012

Bolehkah Memperingati Hari Kelahiran Rasulullah?


Sejarah Ulang Tahun (milad, maulid)
Merayakan dan memperingati hari kelahiran (milad dalam bahasa Arab) berawal dari Eropa. Ulang tahun dirayakan karena ada ketakutan terhadap roh-roh jahat yang datang ketika seseorang tiba di tanggal kelahirannya. Maka, orang-orang Eropa berinisiatif mengundang sanak saudara dan teman-teman untuk menemaninya di tanggal kelahirannya itu agar roh-roh jahat tidak bisa mengganggunya. Selain itu, untuk meminta doa dari mereka.

Prosesi ulang tahun menggunakan simbol-simbol yang ada kaitan dengan keyakinan dan peribadahan. Misalnya simbol kue yang digunakan orang Yunani. Mereka membuat kue sebagai persembahan Dewi Bulan, Artemis, sehingga kue yang dibuat berbentuk lingkaran seperti nampaknya bentuk bulan.

Selain kue, simbol yang digunakan dalam perayaan ulang tahun adalah lilin. Kenapa dengan lilin tidak dengan lampu atau obor misalnya? Orang Yunani meletakkan lilin di atas kue ulang tahun difungsikan untuk membuat kue terang seterang bulan (Gibbons, 1986). Selain itu, menurut sebagian cerita, lilin ini diletakkan karena berkaitan dengan keagamaan/religi.

Dalam perayaan ulang tahun biasanya orang-oreang mengucapakan kata-kata penyelamatan seperti “Happy Birthday” atau selamat ulang tahun. Diyakini (baca: mitos) bahwa jika seseorang mengucapkan kata-kata selamat di depan kue, maka ini akan menjadi kenyataan. Oleh karena itu, setiap yang hadir pada acara ulang tahun mengucapkan “selamat ulang tahun” kepada yang berulang tahun. Kalaupun tidak bisa hadir, orang Eropa suka mengirim kartu selamat ulang tahun yang awal mulanya dipelopori oleh orang Inggris 100 tahun silam (Motomora, 1989).

Sejarah Perayaan Ulang Tahun Rasulullah (Muludan)
Pada masa Islam sedang mendapat serangan-serangan gelombang demi gelombang dari berbagai bangsa Eropa (Prancis, Jerman, Inggris). Inilah yang dikenal dengan Perang Salib atau The Crusade. Perang salib I digelorakan oleh Paus Urban II. 

Pada tahun 1099 laskar Eropa merebut Yerusalem dan mengubah Masjid al-Aqsa menjadi gereja! Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan (jihad) dan persaudaraan (ukhuwah), sebab secara politis terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan, meskipun khalifah tetap satu, yaitu Bani Abbas di Bagdad, sebagai lambang persatuan spiritual. 

Menurut Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada nabi mereka. Dia mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad saw., 12 Rabiul Awal, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini dirayakan secara massal. 

Sebenarnya hal itu bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul dari iparnya, Muzaffaruddin Gekburi, yang menjadi atabeg (semacam bupati) di Irbil, Suriah Utara. Untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di istananya sering menyelenggarakan peringatan maulid nabi, cuma perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun. 

Adapun Salahuddin ingin agar perayaan maulid nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.
 
Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama, sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. 
Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. 

Akan tetapi Salahuddin menegaskan bahwa perayaan maulid nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang. 

Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah An-Nashir di Bagdad, ternyata khalifah setuju. Maka pada ibadah haji bulan Zulhijjah 579 Hijriyah (1183 Masehi), Sultan Salahuddin al-Ayyubi sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 Masehi) tanggal 12 Rabiul-Awwal dirayakan sebagai hari maulid nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam. 

Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan maulid nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 Hijriah) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. 

Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan maulid nabi. 

Ternyata peringatan maulid nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. 

Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 Hijriah) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjid al-Aqsa menjadi masjid kembali sampai hari ini.

Hukum Memperingati dan Merayakan Ulang Tahun Rasulullah (Muludan)
Ada dua faktor benarnya ibadah seorang muslim yaitu niatnya ikhlas dan sesuai dengan syariat. Hilang slah satunya, ibadah dinyatakan radd (tertolak). Jika ditolak berarti tidak diterima. Jika tidak diterima, dari siapa pahala yang akan didapat dari “ibadah” tersebut?

Nah, kita fokus ke Perayaan Maulid Rasulullah yang sederhanya berarti merayakan hari ulang tahun Rasulullah.

Ada dua pokok permasalah. Pertama, ulang tahun itu sendiri, sebagaimana kita tahu asal mula dan sejarahnya, adalah bentuk keyakinan orang Eropa agar terhindar dari roh-roh jahat dengan penggunaan simbol-simbol keagamaan. Dalam hal ini, kue dan lilin. Kedua, legalitas syariat.

Untuk hal pertama, saya kira semua tahu bahwa menyerupai suatu kaum dalam suatu keyakinan dan peribadahan merupakan tsyabuh yang dilarang. Apalagi titik tolak dari peringatan dan perayaan muludan ini adalah sebagai counter balance dari peryaan natal. Dalam arti, adanya muludan dimaksudkan sebagai pengimbangan maraknya perayaan natal. Bahasa kekinian menyebutnya latah. Selain itu, muludan ditujukan karena adanya ‘illat, yakni membangkitkan semangat juang kaum muslimin. Jika begitu, ketik ‘illat tidak ada, maka hukum asal pun (baca: muludan) tidak ada.

Dengan hal pertama, bisa kah kita menyebut bahwa muludan itu ibadah yang berasal dari Allah dan Rasulullah? Saya kira, kita mesti berhati-hati dalam pelaksanaannya. Hal ini adalah bentuk tasyabuh yang dilarang. Jelas-jelas menyerupai dan mengimbangi.

Untuk hal kedua, adalah dalil sahih yang mengabarkan bahwa Rasulullah memeringati dan merayakan hariulang tahunnya? Atau adakah sahabat yang memeringati dan merayakannya? Jika ada, mari sama-sama kita syi’arkan. Jika tidak, ada ibadah lain yang lebih nyunnah dan nyar’i.

Ternyata, dalam kitab-kitab hadits tidak diceritakan Rasulullah memerintah, mencontohkan atau menyetujui peringatan dan perayaan hari kelahirannya (muludan). Kalau begitu, siapa yang bertanggungjawab memberikan pahala terhadap para pelaku muludan? Wong, Allah dan Rasulullah berlepas tangan (baca: tidak membuat syariat)?

Untuk urusan ibadah, adakah dalil yang memerintah? Jika ada, amalkan! Jika tidak, tinggalkan! Sedangkan untuk urusan dunia, adakah dalil yang melarang? Jika ada, tinggalkan! Jika tidak, amalkan!

Ikhwata iman, ini adalah logika dalam memahami syariat. Dalam hal ini yang dianggap syariat, yaitu peringatan dan perayaan hari kelahiran (maulid) Rasulullah. Agar lebih jelas dan tegas, kita pelajari dalil-dalil nash (teks) Quran dan Hadits.

Dalil #1
Jika kita mencintai Rasulullah, maka ikutilah jejak hidup Rasulullah.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, dan bagi yang banyak menyebut Allah”. (Q.S. al-Ahzab [33]: 21).

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. Ali Imran [3]: 31).

Dalil #2
Tasyabuh (menyerupai suatu kaum) dalam keyakinan dan prosesi peribadahan itu dilarang
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Siapa saja menyerupai suatu kaum, maka ia tergolong kaum tersebut”. (H.R. Abu Daud, Ahmad, Thabraniy).

Dalil #3
Melaksanakan suatu amal yang tidak ada perintah, teladan, atau persetujuan Rasulullah adalah ditolak bahkan berujung tragis bagi para pelakunya
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengamalakan suatu amal yang tidak ada perintah di atasnya, maka amal itu ditolak (tidak anggap amal sahaleh)”. (H.R. Muslim)

إِنِّي فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ مَنْ مَرَّ عَلَيَّ شَرِبَ ، وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا ، لَيَرِدَنَّ عَلَيَّ أَقْوَامٌ أَعْرِفُهُمْ وَيَعْرِفُونِي ، ثُمَّ يُحَالُ بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ ، فَأَقُولُ : إِنَّهُمْ مِنِّي ، فَيُقَالُ : إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ ، فَأَقُولُ : سُحْقًا ، سُحْقًا ، لِمَنْ غَيَّرَ بَعْدِي
“Sesungguhnya Aku paling dahulu ada di haudl (telaga), siapa yang lewat kepadaku, maka ia akan meminumnya; dan siapa yang meminumnya, maka ia tidak akan haus selamanya. Seungguh beberapa kaum datang kepadaku. Aku mengenali mereka dan mereka mengenali aku. Kemudian antara aku dan mereka dipisahkan. Aku berkata, “Sesungguhnya mereka golonganku”. Dikatakan oleh Allah, “Sesungguhnya engkau tidak tahu siapa apa yang mereka ada-ada setelah mu”. Maka aku pun berkata, “Menjauhlah, menjauhlah, siapa saja yang merubah (syariat) setelahku!”.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Kesimpulan
1. Merayakan ulang tahun (maulid) itu budaya dan keyakinan orang-orang kafir
2. Secara logika merayakan ulang tahun berarti ikut-ikutan (latah) terhadap budaya orang kafir tersebut
3. Memeringati dan merayakan ulang tahun (mualid) Rasulullah, selain merupakan suatu amal tasyabuh, Rasulullah tidak memberikan legitimasi bahkan jelas dalam hadits terakhir sebagaimana di muka, siapa saja yang beramal tanpa ada perintah, teladan atau persetujuan Rasulullah (bid’ah), tidak akan meneguk telaga kaustar dan pada akhirnya Rasul mengusirnya agar enyeh danmejauh dari beliau
4. Cara terbaik mengingat-ingat Rasulullah kelahirannya, kehidupannya, dan perjuangannya, adalah setiap saat kita mencintainya dengan menjalankan sunnah-sunnahnya. Berbiadah sesuai dengan “buku panduan”, al-Quran dan al-Hadits. Taat syariat. Ini dia kuncinya.
كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِيْ دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ أَبَى
Seluruh umatku akan masuk surge, kecuali yang tidak mau. Para sahabatbertanya, ‘Rasulullah, siapakah yang tidak mau masuk surga itu?’. Rasul menjawab, ‘Siapa yang taat kepadaku, maka ia masuk surga dan siapa yang maksiat kepadaku, ia lah yang tidak mau’.” (H.R. Bukhari).

Wallahu a’lam.

3 komentar:

  1. Buat saya pribadi merayakan Maulud Nabi sebagai bentuk manifestasi kecintaan saya terhadap Rasulullah. Dan substansi ini yang akan saya tularkan kepada anak2 saya supaya mereka mencintai dan mentauladani sifat2 Rasulullah sehingga mereka tidak mempunyai role model kehidupan dalam diri mereka sebagai seorang muslim selain Rasulullah SAW.

    Bentuk Maulidan yang biasa kita lakukan adalah membaca Shalawat dan barjanji yaitu kisah Rasullullah pada masa hidup beliau supaya kita mengetahui dan mengenal beliau lebih baik.

    Oleh karenanya, saya tetap merayakan maulid Rasulullah Muhammad SAW.

    BalasHapus
  2. Jika tujuannya seperti yang Ibu sebutkan, maka saya kira jangan dikaitkan dengan hari tertentu, dalam hal ini hari kelahiran Nabi. Setiap hari, setiap saat, secara rutin, tanamkan kepada Anak tentang Rasulullah. Kalau harus nunggu setahn sekali, saya kira anak2 kurang mengenal Nabinya..
    Selain itu, ibadah adalah urusan Allah dan Rasul-Nya, dalam kaifiyat, waktu, tempat, dll.. Maka, dimanakah letak ketaatan kita jika kita melaksanakan suatu ibadah yang tidak disyariatkan???
    Wallahu a'alam..

    BalasHapus
  3. Buat Ngimbangi kue natal nih, jadi bisa menang perang :-)

    BalasHapus

Mari meraih kebaikan dengan berbagi. Tinggalkan komentarmu kawan...