Ahad, 25 Desember 2011 menjadi hari sarat warna bagi kami. Pertama, kami harus mengikuti prosesi pernikahan saudara keluarga istriku. Kedua, hari itu adalah prepare kegiatan Bazar Murah Pusat Zakat Umat (PZU) Unit Cihideung Kota Tasikmalaya. Ketiga, aku harus menghadap ketua Ma’had Ali di Kampus. Keempat, secepatnya aku harus membeli hadiah dan membungkusnya serapih mungkin. Kelima, dalam kegiatan Bazar Murah aku menjadi koordinator Pemilihan Santri Terbaik dan Perlombaan Santri, maka aku harus menyiapkan segala sesuatunya.
Waktu itu hujan cukup deras. Rencana pukul 10.00 WIB aku dan istriku berangkat dari Garut menuju Tasik, akhirnya urung. Kami pun terdampar di walimatul ursy Dewi, saudara dari keluarga istriku. Tapi “kekesalan” sedikit terobati karena ada tampilan Nasyid dari Kota Tasik yang cukup kreatif dalam bermain musik.
Sampai zhuhur, hujan tak reda juga. Karena aku berjanji ke rekan-rekan PZU untuk hadir siang hari, maka kami pun menerobos hujan membelah kebun-kebun palawija yang terbentang sepanjang jalan.
Perjalanan sedikit alot, sarat kalimah-kalimah thayibah, karena selain terjal dan berliku, jalan menjadi licin tersentuh hujan dan kondisi badan pun kurang fit. Kepalaku sakit. Inginnya sih rehat saja di rumah mertuaku. Nanti saja kami berangkat kalau hujan benar-benar reda. Tapi demi tugas dan amanah kami pun siap berjuang. Keluar dari Comfort Zone.
Sepakatlah aku dan istriku untuk rehat sejenak menghangatkan tubuh yang terus dihantam hujan rintik-rintik. Kuputuskan berhenti di Mesjid Agung Singaparna dan beristirahat di sana. Sambil menunggu hujan reda, kami menyantap bakso dan disusul dengan batagor. Maklum, lagi laper banget, he...
Ada yang membuat kami tertawa sedikit geli. Setelah kami menghabiskan batagor, kami berfoto ria di pinggir mesjid sebelah utara. Lagi enjoy-enjoynya, kami dikagetkan oleh ‘Askar (petugas mesjid) yang memukul-mukul kaca dan mengisyaratkan dengan telunjuknya ke sebuah tulisan di kertas yang ditempel di kaca. Lalu, ia pergi begitu saja tanpa berkata apapun. Kami pun membacanya. “Dilarang berduan dan ngobrol laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Jagalah kesucina masjid ini!” Demikian isi tulisan tersebut.
Dikiranya kami ini pasangan mesum. Padahal kami ini sudah sah menjadi suami istri. Sepanjang jalan dari Mesjid Agung Singaparna menuju Paseh Tasikmalaya, kami tidak berhenti tertawa membahas kejadian tadi. Subhanallah...
Namun, ada pelajaran yang kami ambil.
Pertama, dilarang berdua-duan di depan umum apalagi berfoto ria nan penuh mesra seperti yang kami lakukan. Kenapa? Karena banyak yang berprasangka bahwa kami ini pasangan anak muda yang belum nikah. Ini sudah lumrah. Saking banyaknya pasangan muda belum nikah yang mesra seperti halnya suami-istri, maka pasangan muda yang sah sebagai suami-istri pun menjadi kambing hitam.
Kedua, mencegah kemaksiatan itu harus dengan cara yang benar. Segala seusatu itu, termasuk dakwah, harus dengan niat yang benar dan cara yang benar. Baik-baik menasehati, jika perlu berdiskusi atau berdebat, gunakan bahasa yang baik dan nyantun.
Ketiga, menjadilah orang yang berbesar hati. Ketika dikritik dan diluruskan oleh orang lain, terima saja dulu. Tak usah membantah. Jika memang merasa tidak bersalah, jadikan sebagai wasilah pahala. Bersabarlah dan tetap hindari sesuatu yang disampaikan si pengkritik. Jika merasa bersalah, ya terima saja. Dan berubahlah. Itu sikap hebat yang harus dimiliki.
0 komentar:
Posting Komentar
Mari meraih kebaikan dengan berbagi. Tinggalkan komentarmu kawan...